Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Lebih dari satu miliar orang hidup dalam kemiskinan akut di seluruh dunia berdasarkan laporan Program Pembangunan PBB pada hari Kamis (17-10-2024). Setengah dari jumlah tersebut, anak-anak yang paling terkena dampaknya (beritasatu.com, 17-10-2024).
Hari Pengentasan Kemiskinan Internasional yang diperingati tiap 17 Oktober sejak 1992 bertujuan mengajak masyarakat dunia untuk bersama-sama menyuarakan pentingnya menghapuskan kemiskinan global seakan hanya seremonial stagnan yang tak berdampak. Akar permasalahan kemiskinan tidak dikupas tuntas agar fokus dalam penanggulangannya. Wajar jika sejahtera semakin tidak niscaya.
Dunia Kapitalistik Kesengsaraan Sistemik
Senyatanya, negara-negara yang penduduknya menderita kemiskinan multidimensi adalah negara-negara yang kaya SDA. Salahsatunya India. Padahal pertumbuhan ekonomi India tercepat di dunia sejak 2000. India pun menduduki peringkat kelima di dunia dalam hal Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2023. Bijih besi berkualitas tinggi, mangan, dan kromit merupakan SDA India yang luarbiasa.
Tidak berbeda dengan negeri kita Indonesia. Menurut laporan World Inequality Report (WIR), 1% penduduk terkaya di Indonesia menguasai 30,16% dari total aset rumah tangga secara nasional pada 2022. Sementara itu, kelompok 50% terbawah di Indonesia hanya memiliki 4,5% dari total kekayaan rumah tangga nasional. Laporan WIR 2022 itu juga menunjukkan adanya ketimpangan pendapatan di antara masyarakat Indonesia. Pendapatan kelompok 50% terbawah hanya Rp25,11 juta per tahun pada 2022. Sementara itu, kelompok 10% teratas memiliki pendapatan sebesar Rp333,77 juta per tahun. Sedangkan kelompok 1% terkaya punya pendapatan lebih tinggi lagi, yakni mencapai US$1,2 miliar per tahun.
Sungguh menyedihkan, India-Indonesia dihadapkan pada realitas ketimpangan ekonomi. Orang-orang miskin yang berada di dalamnya terkategori sebagai korban kemiskinan struktural. Kemiskinan yang diderita karena struktur sosial masyarakat yang mengakibatkan masyarakat tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia untuk mereka, sebagaimana digambarkan oleh seorang ahli Selo Soemardjan dalam tulisannya Suatu Bunga Rampai, 1980.
Dalam kondisi kemiskinan struktural, orang-orang terkaya di dunia maupun negara-negara yang mengalami kemiskinan ekstrem hidup dalam naungan sistem yang sama, yakni kapitalisme. Buruknya distribusi kekayaan dengan konsep pengelolaan dan pengembangan harta secara kapitalistik telah membuat orang-orang yang menjadi penduduk di negara yang sama bisa mengalami jurang kesenjangan ekonomi yang sangat lebar. Banyak orang terkaya hidup pada negara yang mengalami kemiskinan ekstrem tertinggi di dunia.
Menjadi lumrah kondisi seperti ini terjadi. Sebesar apa pun tekanan ekonomi yang melanda sebagian besar masyarakat dunia, hubungan dan kepercayaan terhadap sistem yang menaungi mereka selama ini (kapitalisme) tetap saja mereka yakini sebagai hubungan yang dipelihara. Cara berpikir pragmatis masih melingkupi hidup mereka dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan.
Klaim sekolah di luar negeri, menjadi sarjana, sekolah SMK dll. di kalangan generasi muda sebagai solusi untuk mendapat kehidupan yang lebih baik, ternyata tidak seindah yang diharapkan. Pengangguran tetap menjadi masalah besar yang menghantui. Hidup berdaya hanya dirasa segelintir orang, sementara ketidakberdayaan terus menyasar kehidupan.
Seharusnya sempit hidup yang dirasa mampu membangkitkan kesadaran untuk melakukan perubahan. Solusi pragmatis yang selalu dijadikan penyelesaian terbukti tidak mengeliminir kesulitan hidup. Tercerabutnya akar masalah dari seluruh permasalahan sistemis dan struktural yang berdampak pada kemiskinan ekstrem karena tegaknya sistem kapitalisme, sudah sangat urgen. Jika masih saja akar ini bercokol, kemiskinan ekstrem tetap saja melanda sekalipun di sisi lain manusia kaya raya juga nyata. Kapital menentukan kekuatan dan kelemahan. Pemilik cuan digjaya.
Dunia kapitalistik dengan isme-nya telah merelasikan penguasa dan rakyat ibarat pedagang dan pembeli. Sistem ekonominya pun meniscayakan mekanisme harga sebagai indikator utama pendorong laju produksi sekaligus penentu distribusi barang dan jasa. Rakyat dianggap bisa membeli suatu barang tertentu dan tidak bisa membeli barang yang lain. Rakyat yang pendapatannya banyak bisa membeli lebih banyak barang sedangkan yang tidak, sebaliknya. Wajarlah demikian, karena ekonomi dalam pandangan kapitalisme lebih banyak dibangun berdasarkan produksi kekayaan/pendapatan daripada produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan bukan lagi hal yang diperhatikan.
Dalam sistem ini sekalipun penguasa telah luncurkan berbagai bantuan dana untuk rakyatnya, inflasi yang menggila dan daya beli yang turun, cukup meleburkan bantuan bagai debu yang ditiup angin, hilang sekejap entah kemana. Walhasil bagi rakyat, bisa makan saja sudah bersyukur. Problematik kemiskinan terlukis nyata di tataran individu, dan kemiskinan ini sistemis. Sistem ekonomi kapitalisme sangat bermasalah dalam hal distribusi harta dan jasa kepada tiap-tiap individu, terutama yang ditujukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan primer berupa sandang, pangan, dan papan.
Oleh karena itu negeri ini sudah berada pada tataran getting untuk mendapat solusi asasi. Solusi yang mampu menjawab pemenuhan kebutuhan asasi individu per individu. Solusi sistemis yang mampu memecahkan masalah kemiskininan ekstrim yang telah diakibatkan oleh sistem ekonomi kapitalisme.
Saat ini yang diperlukan adalah adanya sistem ekonomi yang mampu menjawab masalah kemiskinan individual dan terdistribusikannya harta/kekayaan secara merata. Terurainya problematik sistemis kemiskinan yang bukan lagi hanya perbincangan, namun riil serta rigid dalam pelaksanaannya, dan itu hanya bisa terjadi jika sistem yang berjalan bersifat fitrah sesuai dengan aturan ilahi yang bersifat fundamental.
Islam Solusi Fundamental
Sungguh, secara fundamental Islam telah menetapkan sejumlah mekanisme distribusi kekayaan agar harta bisa dimiliki oleh setiap individu dalam rangka pemenuhan kebutuhannya, terutama kebutuhan asasi. Dalam Islam, kepemilikan harta tidak menumpuk pada orang-orang kaya saja sebagaimana dalam kapitalisme. Dalam Islam, cara memperoleh harta wajib terikat dengan aturan syariat. Standar ekonomi yang sejahtera menurut Islam, menyangkut pemenuhan kebutuhan individu per individu.
Firman Allah Ta’ala,
“… supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS Al-Hasyr [59]: 7).
Ayat ini teraktualisasi melalui sistem ekonomi Islam yang meniscayakan distribusi kekayaan bagi setiap individu masyarakat. Konsep inilah yang mustahil terjadi dalam sistem ekonomi kapitalisme. Selain itu, agar masyarakat tidak pragmatis dengan kemiskinan yang mereka alami, standar kemajuan suatu negara menurut Islam berfokus pada kebangkitan pemikiran. Kebangkitan pemikiran ini dalam rangka menjadikan ideologi Islam sebagai kepemimpinan berpikir yang akan disebarkan ke seluruh dunia melalui aktivitas dakwah dan jihad oleh negara.
Sistem ekonomi Islam menjamin keberlangsungan perekonomian berdasarkan syariat Allah yang penerapannya dilandasi oleh ketakwaan kepada Allah dan dilaksanakan oleh negara dalam naungan sistem Islam. Mekanisme distribusi kekayaan kepada setiap individu dilakukan berdasarkan sebab-sebab kepemilikan yang diatur syariat. Ketakwaan sangat berperan dalam meneguhkan parameter yang mampu menjamin kesempurnaan pendistribusian harta sehingga mampu meminimalkan berbagai kecurangan maupun buruknya sistem distribusi.
Dalam hal kesejahteraan ekonomi, kita tentu ingat kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang berhasil mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan. Semua rakyatnya hidup berkecukupan. Kemakmuran warga Khilafah kala itu merata di seluruh penjuru wilayah kekuasaan Islam.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah meminta Gubernur Irak Abdul Hamid bin Abdurrahman agar membayar semua gaji dan hak rutin warga di provinsi itu, tetapi ternyata di baitulmal masih terdapat banyak uang. Khalifah Umar lalu memerintahkan agar mencari orang yang dililit utang, tetapi tidak boros. Abdul Hamid kembali menjawab bahwa dirinya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di baitulmal masih banyak uang.
Khalifah lalu memerintahkan lagi, jika ada seorang lajang yang tidak memiliki harta dan ingin menikah, hendaklah orang tersebut dinikahkan dan maharnya dibayarkan. Abdul Hamid kembali menjawab bahwa ia sudah menikahkan semua yang ingin menikah, tetapi di baitulmal ternyata masih tersimpan banyak dana. Khalifah akhirnya memberi pengarahan agar mencari orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Demikian halnya jika ada yang kekurangan modal, khalifah memerintahkan agar mereka diberi pinjaman sehingga mampu mengolah tanahnya.