Oleh Fina Fadilah Siregar
(Aktivis Muslimah)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang pperubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi undang-undangaPengesahan dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025, di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Kamis (19/9). (CNN Indonesia, 20/9/2024).
Setidaknya terdapat enam poin penting dalam perubahan tersebut. Satu di antaranya mengenai jumlah kementerian yang kini ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden. Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah ‘Castro’ menyatakan penambahan pos kementerian merupakan upaya politik hukum untuk mengakomodasi kepentingan pemerintahan Prabowo Subianto.
“Politik hukum kenapa kemudian komposisi kementerian itu dihilangkan, batas inmaksimal kalau di dalam ketentuan sebelumnya 34 tapi sekarang dihapus, karena memang rezim pemerintahan Prabowo nanti membutuhkan legitimasi bagaimana mengakomodasi semua kabinet gemuk, itu sudah rahasia umum ya. Jadi, ada semacam over coalition yang butuh diakomodasi, maka satu-satunya pilihan ya menambah jumlah kementerian,” Ujar Castro. (CNN Indonesia, 20/9/2024).
Padahal, menurut Castro, jumlah kementerian 34 sebagaimana aturan sebelumnya pun terlalu banyak. Ia menggunakan logika efektif atau tidak pemerintahan. Castro juga menyoroti proses legislasi di masa pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan DPR saat ini. Ia mengatakan legislasi yang dijalankan hanya untuk mengakomodasi kepentingan elite politik, bukan rakyat kebanyakan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, juga berpendapat menambah pos kementerian merupakan langkah yang keliru. Menurut dia, seharusnya yang ditambah adalah kantor-kantor dinas.
“Memahami karakter Indonesia, dari sisi sistem negara, kultur masyarakat dan geografis, Indonesia tidak memerlukan banyak kementerian atau jabatan di tingkat pusat. Justru, yang perlu ditambah adalah kantor dinas di tingkat provinsi,” kata Dedi saat dihubungi melalui pesan tertulis. (CNN Indonesia, 20/9/2024).
Dedi mengatakan kementerian sebagai wilayah administratif hanya perlu mengawal regulasi dan implementasi yang dibebankan pada kedinasan di wilayah. Menurut Dedi, kabinet obesitas hanya akan membuka peluang korupsi dan tentu menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan balas jasa atas kerja Pemilu atau Pilpres.