Oleh Leha (Pemerhati Sosial)
BEM KM Universitas Mulawarman (Ummul) melalui kementerian gender melakukan audiensi pada tanggal 12 Agustus 2024 lalu guna membahas kasus kekerasan seksual di kampus bersama Satgas PPKS Unmul. Audiensi tersebut bertujuan untuk pengawalan terhadap kasus yang menimpa tiga dosen dan untuk mendukung penuh jalannya penanganan dan pencegahan kekerasan seksual.
Pemberian sanksi terutama pada kasus yang menimpa mahasiswa dan dosen yang diatur dalam kode etik tidak berjalan mulus karena di Unmul sendiri kode etik belum disahkan dan di tandatangani bahkan tidak ada tanggal pengesahannya sehingga tidak berkekuatan hukum.
Hal ini membuat mahasiswa menggelar aksi tuntut ketegasan terhadap dosen pelaku kekerasan seksual yang kasusnya masih mengambang. (Kaltimpost 24/08/24)
*Kapitalisme Sekuler Akar Masalah*
Kampus sebagai lembaga pendidikan tinggi seharusnya mencerminkan karakter orang-orang yang bermartabat. Ketinggian ilmu seharusnya sejalan dengan sikap dan perbuatan yang terpuji, bukan terjebak dalam perbuatan dosa. Kondisi ini menunjukkan kegagalan pendidikan mencetak generasi unggul.
Kampus seharusnya menjadi sumber muara ilmu pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta membangun peradaban cemerlang dan menjadi tumpuan harapan untuk lahirnya insan-insan cendikia yang responsif terhadap berbagai persoalan umat.
Adanya upaya untuk membantu korban kekerasan seksual merupakan langkah yang baik tetapi mencegah kekerasan seksual menjadi langkah yang seharusnya ditempuh, bukan menunggu sampai munculnya korban. Artinya rumusan penanganan kasus kekerasan seksual harus merujuk pada akar masalahnya.
Penyebab utama kekerasan seksual adalah akibat diterapkannya sistem sekuler kapitalisme di negeri ini. Pemisahan agama dari kehidupan menjadikan interaksi laki-laki dan perempuan nyaris tanpa batas.
Di kampus misalnya, sering kita jumpai seorang mahasiswa konsultasi kepada dosennya di ruang tertutup dan hanya berdua. Padahal, berdua-duaan yang bukan mahrom bisa memicu terjadinya perzinaan bahkan kekerasan seksual. Arus liberalisme telah menggiring generasi bergaya hidup hedonis, individualis, dan pragmatis.
Sistem ini juga mengikis ketakwaan individu, sehingga generasi tidak mampu membedakan perbuatan yang baik dan buruk. Akibatnya, pacaran, selingkuh, sampai meningkatnya kasus aborsi menjadi fakta yang tidak terbantahkan.
Kebebasan berperilaku makin diperparah dengan peran media yang banyak mempertontonkan adegan yang merangsang syahwat, seperti film dan iklan. Situs-situs yang tidak edukatif ini dengan mudah diakses kapan dan di mana saja.