Oleh : Ayu Hamzah
Jejak korupsi Indonesia bisa dibilang sudah memenuhi kriteria Negara dengan koruptor terbanyak di dunia, tidak pejabat, tidak pengusahanya semua bermain dengan masalah hukum, kasus korupsi paling fantastis dengan nominal kerugian negara mencapai 271 Triliun nyatanya bukan ujung kisah ironis rusaknya roda perekonomian di Indonesia. Belum selesai tuntasnya kasus mega korupsi tersebut, rakyat sudah dibuat geger dengan berita mengenai pengemplangan pajak sebesar Rp 300 Triliun. Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Dradjad Wibowo mengatakan anggaran untuk belanja negara tahun depan membutuhkan sekitar Rp 3.900 triliun. Itu artinya, terdapat kekurangan sekitar Rp.300 triliun dari alokasi belanja pada APBN 2025 sebesar Rp 3.621,3 triliun, sebagaimana dikutip dari kompas.com.
Keterangan selanjutnya yakni oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) membeberkan tentang potensi hilangnya penerimaan negara sebesar Rp 300 triliun di sektor kelapa sawit. Potensi hilangnya penerimaan negara itu sebelumnya diungkapkan oleh Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo. Adanya isu pengemplangan pajak yang dilakoni oleh sebagian perusahaan sawit ini bahkan menyeret angka yang tidak sedikit ini menimbulkan pertanyaan publik yang kemudian mendesak presiden terpilih Prabowo Subianto untuk melakukan penyelidikan hingga tuntas.
-Keadilan tidak lagi untuk seluruh rakyat
Sebagaimana diketahui bahwa pajak sendiri merupakan salah satu sumber pendapatan pemerintah Indonesia yang digunakan untuk pemerataan segala bentuk layanan pada masyarakat, seperti infrastruktur, kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Pada intinya pajak bagi sistem pemerintahan sekarang adalah suatu hal yang dihukumi wajib ditunaikan bagi mereka yang dikenai, tentunya dengan ketentuan buatan penguasa.
Kelalaian hukum, tidak sepantasnya menjadi alasan lagi yang harus diutarakan pemerintah untuk menutup amarah rakyat, sebab kecolongan karena lemahnya integritas hukum bukanlah suatu hal yang baru pertama terjadi di negeri kita ini. Bahkan pemberlakuan aturan kepada pengusaha dianggap sepele juga terkesan suka-suka berbeda dengan pemberlakuan pada rakyat yang terkesan tegas, berat bahkan terkesan memaksa. Permasalahan ini juga menjadi indikator adanya sistem pilih kasih yang masih dilestarikan, bahkan hingga tunggakan pajak yang sebegitu besarnya membuktikan bahwa pemerintah sedikit memberi kelonggaran terkait pemberlakuan pajak. Di sisi lain, masyarakat awam yang bekerja dan memperoleh harta mereka secara mandiri maupun dengan tunjangan standar tidak lepas dari pemberlakuan pajak teratur. Penerapan yang amburadul ini sudah pasti menjadikan masyarakat sebagai tumbal bukan prioritas untuk dilayani sebagaimana fungsi dari jabatan yang mereka emban. Akibat permasalahan ini pula, banyak sekali akses yang seharusnya dirasakan rakyat wajib pajak seperti bangunan, kesehatan, pendidikan serta fasilitas lain untuk menunjang kebutuhan rakyat tidak terealisasikan. Tampaknya tidak ada keadilan dalam sistem perpajakan kapitalis sekuler, jika terus begini sudah pasti rakyat bukan untung malah jadi buntung.
– Islam mengatur pajak