Oleh: Ika Widi Utami S.Mat.,
(Pendidik Generasi)
Miris, nasib buruh saat ini. seperti yang dilansir dari tirto.id, Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan, Budi Gunawan meminta pemerintah daerah untuk berhati-hati dalam menetapkan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Menurutnya, penetapan upah itu rawan menjadi kebijakan populis pemerintah daerah. Dia menyebut upah minimum provinsi yang terlalu tinggi atau tidak rasional berpotensi mengganggu pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Ketua Komite Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia Subchan Gatot menyatakan bahwa upah minimum yang tidak terlalu tinggi membuat perusahaan punya ruang untuk tumbuh. Pasalnya kenaikan upah tinggi sebelum pandemi di kisaran 8% per tahun telah membuat banyak perusahaan tidak kuat bahkan hengkang. Sementara itu Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO Bob Azam menyebut, sebelumnya Indonesia sempat menjadi tujuan investasi utama, bahkan mengalahkan perusahaan lain, namun berubah ketika buruh menuntut banyak kenaikan (cnbcindonesia.com).
Akankah permasalahan upah bagi buruh menemukan titik keadilan? Sebab tak dinafikkan kebutuhan Pokok kian hari melambung tinggi namun upah buruh sangat dibatasi kenaikannya.
Sistem Kapitalis Akar Masalah Para Buruh Tidak Sejahtera
Di satu sisi buruh juga inginkan kenaikan gaji untuk berlangsungnya kehidupan yang serba mahal ini. Namun, di sisi lain sistem kapitalisme membuat pengusaha menyusun strategi atau cara bagaimana bisa mendapat untung sebanyak-banyaknya. Alhasil mereka mengupah buruh seminim mungkin. Hal itu terjadi karena dalam sistem kapitalis pengusaha dituntut untuk memproduksi barang yang banyak namun dengan harga yang murah.
Cara berpikir seperti ini wajar terjadi dalam negara kapitalisme. Negara kapitalisme mempunyai ideologi batil yang berdiri atas pemisahan agama dengan kehidupan (sekularisme) yang hanya beorientasi materi. Sistem dalam negara kapitalisme benar saja menjadi mimpi buruk bagi kebanyakan para buruh.
Kedudukan pengusaha dalam sistem kapitalisme dianggap pihak menguntungkan bagi negara dalam menumbuhkan perekonomian sedangkan buruh yang hanyalah rakyat biasa. Buruh dimasukkan dalam faktor produksi. Perbedaan posisi dimata negara seperti ini sangat menyengsarakan para buruh.
Dalam negara kapitalisme menekankan prinsip dengan modal kecil namun mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, sehingga upah buruh juga harus ditekan untuk keuntungan yang maksimal. Konsep ini membuat buruh hidup dalam kesengsaraan, hidup pas-pasan karena disesuaikan dengan standar hidup minimum tempat mereka berkerja. Walaupun buruh telah maksimal bekerja hingga bercucur keringat takkan mampu melampaui standar hidup dalam masyarakat. Negara juga berlepas tangan akan nasib para buruh karena negara hanya berfungsi sebagai regulator kebijakan. Buruh saat ini begitu merasa tertekan dengan beban hidup yang tinggi, logis saja bahwa para buruh inginkan kenaikan gaji.