Oleh : Diana Nofalia, S.P
(Aktivis Muslimah)
Pengamat Politik Adi Prayitno mengunggah komentar, terkait panas-dingin hubungan PKS dan Anies yang tampak pecah kongsi di Pilgub Jakarta 2024. Hal itu terlihat dari foto headline sejumlah portal berita yang ditampilkan di Instagram pribadinya.
“Demi mengejar keuntungan pribadi dan kelompoknya itu, praktik politik yang terjadi kerap brutal dan membabi buta. Persahabatan dikorbankan. Pertemanan diingkari. Berbohong dan ingkar janji perkara biasa. Bahkan ada yang rela menghabisi partainya sendiri. Semua demi keuntungan politik,” tutur Adi.
Sebagai Dosen Ilmu Politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Adi mempertanyakan soal letak idealisme berpolitik, menurut dia hal itu tempatnya hanyalah di ruang kelas dan keranjang sampah. Adi mengungkap, apa yang terjadi di Pilkada hari ini adalah fenomena demokrasi elit. Sebab, yang bisa menentukan seseorang bisa maju adalah murni kehendak elit partai.
(https://www.liputan6.com/pemilu/read/5669902/soal-pilkada-2024-adi-prayitno-berbohong-dan-ingkar-janji-perkara-biasa)
Fenomena berburu kekuasan ini tak lagi asing bagi kita, bahkan kita juga tau dalam praktiknya terdapat berbagai macam kecurangan yang dilakukan demi mencapai tujuan yang diinginkan.
Suara rakyat diburu dengan berbagai cara, janji manis dan popularitas. Padahal sejatinya, kontestasi ini bukanlah untuk kepentingan rakyat, namun demi kepentingan elit oligarki
Dalam sistem demokrasi, Kekuasaan menjadi tujuan. Segala macam cara, akan dilakukan bahkan bisa menghalalkan segala macam cara demi meraih kekuasaan. Idealisme pun bisa dikalahkan demi mendapatkan kemenangan. Koalisi dibentuk dengan pertimbangan peluang kemenangan, meski berbeda ‘ideologi’, berbeda pandangan politik pada masa lalu dsb. Demikian pula pemilihan figur semata dengan perhitungan kemenangan bukan pada kapabilitas apalagi integritas calon kepala daerah. Karena itu politik uang menjadi keniscayaan.
Kalau kita coba amati lebih dalam, berbagai kebijakan pemerintah cenderung lebih memihak pasar yang diikuasai para pemilik modal daripada memihak kepentingan rakyat. Contohnya adalah kebijakan menaikan BBM. Alasannya adalah standarisasi minyak dunia, juga menghapus subsidi barang sekaligus mengalihkannya ke subsidi orang. Padahal yang dilakukan adalah untuk mengundang masuknya investor asing dalam sektor ini.
Mengapa penguasa yang ada lebih memilih memuaskan kepentingan pengusaha (korporasi) daripada rakyat? Sudah rahasia umum, partisipasi dalam demokrasi membutuhkan dana yang besar. Biaya besar ini dibutuhkan untuk kampanye legal sampai yang ilegal, suap menyuap,_money politics_, lobi, bakti sosial atas nama partai dan lain-lain. Dalam konteks inilah politisi kemudian membutuhkan dana segar dari kelompok bisnis. Penguasa dan pengusaha pun menjadi pilar penting sistem demokrasi. Bantuan para pengusaha tentu punya maksud tertentu, paling tidak, jaminan terhadap bisnisnya; bisa juga berharap ditunjuk untuk proyek bisnis pemerintah. Jadilah elit politik kemudian didikte untuk kepentingan pengusaha.