Oleh: Febri Ghiyah Baitul Ilmi
(Muslimah Morowali)
Kegaduhan dinamika politik pelaksanaan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak tahun 2024 kini mulai terasa. Mulai dari suap menyuap, mobilisasi Kades (Kepala Desa), hingga janji masuk surga. Fenomena seperti ini terjadi disetiap pemilu karena telah tersistematis, terencana, dan masif. Ironisnya, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) bertaji tumpul. Walhasil, rakyat jelata hanya menikmati janji manis semata, konflik horizontal yang berkepanjangan, dan kesejahteraan khayalan belaka.
Sebagaimana realitasnya, Pilkada Jawa Tengah 2024 diduga ternodai oleh praktik kotor mobilisasi Kades. Puluhan Kades telah tergabung dalam Paguyuban Kepala Desa (PKD). Sekitar 90 orang digerebek oleh Bawaslu saat mengikuti pertemuan secara tertutup di Gumaya Tower Hotel, di kota Semarang pada Rabu,23/10/2424. Kemudian, pada Kamis, 17/10/2024 terdapat sekitar 200 orang yang melakukan pertemuan serupa di Graha Padma, Kota Semarang (tirto.id, 26/10/24).
Disisi lain salah satu calon Bupati menjanjikan surga kepada masyarakat jika memilihnya, karena calon Bupati tersebut memiliki program menyantuni anak yatim. Hal ini, mendapat respons dari KH Zainut Tauhid Sa’adi sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan, kampanye dengan menjanjikan surga kepada pemilihnya merupakan eksploitasi agama untuk kepentingan politik (khazanah.republika.co.id, 27/10/24).
Tak bisa dimungkiri, praktik politik uang saat Pemilu dan Pilkada bagaikan lingkaran setan yang tak ada jalan keluarnya. Koordinator Divisi Pencegahan, partisipasi Masyarakat dan Humas Bawaslu Kalteng (Kalimantan Tengah) Siti Wahidah menyatakan, data KPK pada tahun 2019, sebanyak 72% pemilih menyatakan pernah menerima politik uang karena faktor tekanan, ekonomi, hingga lemahnya hukum (kalteng.tribunnews.com, 27/10/24).
*Rakyat Hanya Jadi Tumbal*
Dalam demokrasi Pilkada merupakan peristiwa yang sangat penting untuk memilih seorang pemimpin daerah sebagai penentu masa depan rakyat. Maka tidak heran, berapa pun besarnya dana dihabiskan demi melaksanakan ajang ini. Mendagri Tirto Karnavian menyampaikan, anggaran dana untuk Pilkada serentak tahun 2024 lebih dari Rp41 triliun, yang berasal dari 40% APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) 2023 dan 60% APBD 2024. Sungguh menyedihkan, dana sefantastis itu habis ditengah kondisi rakyat yang memprihatinkan.
Kampanye dalam demokrasi memang sangat mahal. Para kontestan akan menggelontorkan uang sebanyak mungkin untuk meraih suara rakyat, yang disponsori oleh para oligarki. Politik uang ini, tidak hanya dirasakan oleh para calon kompetisi yang memperebutkan suara rakyat dan rakyat sebagai calon pemilih, tetapi juga penegak hukum, aparat penyelenggara pemilu, dan pemantau.
Kemahalan politik demokrasi akan menghasilkan pejabat publik yang korup juga serakah. Sungguh kondisi yang memprihatinkan, sudahlah rakyat dipalak untuk membayar mereka dengan adanya pajak, kasus korupsi pun tidak ada habisnya. Parahnya lagi, setelah selesai masa jabatan, ternyata rakyat masih dibebani untuk menanggung biaya hidup mereka. Saat pensiun, uang rakyat masih mengalir ke kantong mereka. Seperti inilah kondisinya, rakyat hanya dimanfaatkan bagaikan sapi perah untuk mengenyangkan perut pejabat.
Selain itu, rakyat juga hanya sebagai tumbal atas janji-janji manis yang terucap pada saat kampanye. Sayang, tidak sedikit dari masyarakat yang terbisu oleh janji manis mereka. Setelah terpilih sebagai pejabat, maka janji hanya tinggallah janji yang terlupakan begitu saja tanpa bekas. Beginilah gambaran pejabat publik dalam demokrasi yang tidak amanah.
Kemudian, dampak dari adanya politik demokrasi, tidak asing terjadi konflik antar masyarakat, bahkan antara saudara untuk membela kandidatnya. Perseteruan ini, bahkan akan berkepanjangan hingga pemilu telah usai. Padahal, para pejabat yang bersaing pada saat pemilu, setelahnya mereka bersalaman dan saling menggandeng untuk bagi-bagi jabatan.
*Kapitalisme Biang Keladi*