Oleh Ummu Fatir
Angka kemiskinan yang terus meningkat, terjadi hampir di seluruh penjuru dunia. Kemiskinan ini terjadi baik di tingkat internasoinal, nasional, regional bahkan di tingkat lokal. Peristiwa ini sangat miris dan memprihatinkan karena terjadi di negeri-negeri yang kaya akan SDA.
Lebih dari satu milliar orang hidup dalam kemiskinan akut di seluruh dunia. Berdasarkan laporan Program Pembangunan PBB sekitar 584 juta anak berusia di bawah 18 tahun mengalami kemiskinan ekstrem. Angka ini mencapai 27,9% dari seluruh anak di dunia dan dua kali lipat jumlah orang dewasa yang mengalami kemiskinan ekstrem yaitu sebanyak 13,5%.
UNDP dan OPHI telah menerbitkan indeks kemiskinan tiap tahun sejak 2010 dengan mengumpulkan data dari 112 negara dengan populasi gabungan 6,3 miliar orang. Data ini menggunakan indikator di antaranya, kurangnya perumahan yang layak, sanitasi, listrik, bahan bakar memasak, nutrisi dan kebutuhan bersekolah (Berita Satu, 17/10/2024)
Dunia Tak Kunjung Sejahtera
Peringatan Hari Pengentasan Kemiskinan Internasional setiap tahunnya mengajak masyarakat dunia untuk bersama-sama menyuarakan pentingnya menghapuskan kemiskinan. Hari ini kemiskinan terjadi di mana-mana, kesenjangan antara miskin dan kaya makin lebar.
Tepat pada 17 Oktober adalah momentum bagi para penganut sistem ini menyuarakan peran yang bisa diambil baik secara individu maupun kolektif dalam mengatasi masalah sosial tersebut. Peringatan ini masih hanya sekedar seremonial, panggilan untuk tindakan nyata di setiap sudut dunia. Sebab kegiatan ini tidak serta merta memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Ini karena akar permasalahan kemiskinan bukanlah menjadi fokus penanggulagannya. Justru sistem ini kian hari semakin menampakkan kerusakannya dalam menyelesaikan berbagai macam problematika kehidupan. Faktanya hari ini kemiskinan terjadi di mana-mana, kesenjangan antara miskin dan kaya makin lebar. Tidak heran, sistem kapitalisme tak kunjung mampu mewujudkan kesejahteraan dunia.
Sejatinya ketimpangan ekonomi tersebut menunjukkan bahwa orang-orang miskin di dunia bisa kita kategorikan sebagai korban kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural ini terjadi karena baik orang-orang terkaya di dunia maupun negara-negara yang mengalami kemiskinan ekstrem hidup dalam naungan sistem yang sama, yakni kapitalisme. Namun, buruknya distribusi kekayaan maupun konsep pengelolaan dan pengembangan harta membuat orang-orang yang menjadi penduduk di negara yang sama bisa mengalami jurang kesenjangan ekonomi yang sangat lebar.
Solusi Pragmatis
Sayang, tekanan ekonomi yang melanda sebagian besar masyarakat dunia belum mampu membuat mereka memutus hubungan dan kepercayaan terhadap sistem yang menaungi mereka selama ini, yakni kapitalisme. Mereka masih berpikir pragmatis, yakni sekadar tataran teknis dan individualis dalam menyelesaikan problematik kemiskinan.
Sebagai contohnya adalah fenomena kuliah di luar negeri yang selama ini telah menjadi impian bagi banyak pelajar di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Tujuannya tidak lain untuk memperoleh kondisi ekonomi dan pendidikan yang lebih baik serta berkontribusi untuk negaranya setelah lulus.
Klaim ini muncul karena ada realitas bahwa pengalaman dan keterampilan yang diperoleh dari luar negeri dapat berkontribusi secara signifikan dalam pembangunan negara asal mereka. Namun, klaim itu tidak sepenuhnya benar karena tidak semua warga di negara tersebut berkesempatan mengenyam pendidikan di dalam negeri, alih-alih menuntut ilmu hingga ke luar negeri.
Lihat saja realitas terdekat di negeri kita. Pelajar yang ingin sekolah di sekolah negeri terbaik banyak yang terganjal sistem PPDB zonasi. Sedangkan pelajar yang ingin masuk sekolah kejuruan (SMK) agar bisa langsung bekerja setelah lulus, ternyata justru menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran terbuka di Indonesia. Masyarakat yang hendak menjadi pegawai negeri disyaratkan berpendidikan minimal sarjana, tetapi ketika hendak mengenyam pendidikan tinggi mereka kesulitan membayar uang kuliah tunggal (UKT), beasiswa pun tidak mudah diperoleh.
Adapun rakyat yang ingin bekerja sebagai buruh, iklim manufaktur di dalam negeri sedang rapuh sehingga rawan PHK. Adapun jika ingin menjadi wiraswasta, berbagai pajak siap menanti. Sungguh hidup rakyat penuh dilema.
Semua realitas kelam ini semestinya membuat masyarakat bangkit dan melakukan perubahan sistemis, jangan hanya sebatas solusi pragmatis. Akar masalah dari seluruh permasalahan sistemis dan struktural yang berdampak pada kemiskinan ekstrem itu semata adalah tegaknya sistem kapitalisme.