Opini

Kapitalis Untung Bisnis Makanan dan Minuman Manis, Rakyat Sakit

171
×

Kapitalis Untung Bisnis Makanan dan Minuman Manis, Rakyat Sakit

Sebarkan artikel ini

Yuni Yartina

(Aktivis Muslimah)

Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Piprim Basarah Yanuarso menanggapi isu yang ramai beredar tentang banyaknya anak yang melakukan cuci darah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Dr Piprim menyampaikan bahwa secara nasional tidak terjadi lonjakan kasus gagal ginjal sebagaimana tahun lalu saat terjadi keracunan pada obat. Cuci darah tidak hanya faktor gaya hidup, melainkan banyak faktor misalnya kelainan pada ginjal dan saluran kemih sejak lahir. (CNN Indonesia, 26 Juli 2024).

Menanggapi hal ini, sekilas seperti tak perlu ada yang dikhawatirkan. Namun kita tetap harus memperhatikannya, karena sebagian besar masalah kesehatan merupakan dampak dari pola hidup dan pola konsumsi. Apalagi masalah gagal ginjal bisa berdampak sistemik pada organ lainnya hingga berujung komplikasi.

Tidak bisa kita hindari, produk yang beredar hingga kini ditengah masyarakat dominan berkandungan gula. Bahkan melebihi takaran gizi harian yang dibutuhkan oleh tubuh. Dalam sistem kapitalis saat ini, gula adalah bahan bisnis yang bisa menghasilkan berbagai macam produk pemanja lidah yang murah sehingga terjangkau untuk dibeli.

Tentu saja tujuan utama dari pembuatan produk-produk ini adalah mendapatkan keuntungan tanpa memperhatikan kesehatan dan keamanan. Ketika produk diedarkan tentu saja siapapun bebas membeli, meskipun pada kemasan telah diberi peringatan-peringatan tertentu. Produk tetap beredar, selama dianggap lolos uji kelayakan dan kehalalannya oleh badan yang berwenang.

Dari sini terlihat meskipun ada badan yang bertugas menguji kelayakan produk, ada standar yang diabaikan oleh negara dalam menentukan makanan yang layak untuk diedarkan ditengah masyarakat. Kita baru membahas dari satu kandungan yakni pemanis. Belum kandungan-kandungan lain seperti natrium, pengawet, pewarna dan sebagainya.

Semua kandungan-kandungan tersebut seolah menjadi konsumsi wajar masyarakat, hingga bergeser pola konsumsi dari makanan utuh ke makanan berproses tinggi. Sementara masyarakat seharusnya mengkonsumsi makanan yang sehat dan halal. Sayangnya lagi, harga pangan utuh (realfood) di pasar tidak stabil dan seringkali tak terjangkau, pada akhirnya masyarakat memilih yang murah, enak dan cepat.

Dalam syariat Islam, makan bukanlah sekedar untuk pemuas lidah dan perut. Makan dan minum bertujuan untuk memberi stamina pada tubuh agar mampu menopang aktivitas ibadah dan keseharian. Tandanya, makanan dan minuman harus merupakan sesuatu yang baik untuk tubuh.

Tak hanya itu, Islam mengatur setiap yang masuk ke dalam tubuh untuk dikonsumsi haruslah halal. Dalam sebuah hadist dikatakan “Tidaklah Bani Adam memenuhi kantong yang lebih buruk dari perutnya, hendaklah Bani Adam makan sekedar menegakkan punggungnya, jika tidak bisa (terpaksa), maka makanlah sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiganya untuk nafasnya.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *