Opini

Kabinet Gemuk Resiko Beban Negara Semakin Menumpuk

32
×

Kabinet Gemuk Resiko Beban Negara Semakin Menumpuk

Sebarkan artikel ini

Oleh Nur Hasanah, SKom

Aktivis Dakwah Islam

Pembentukan kabinet yang gemuk dalam pemerintahan Prabowo-Gibran, seperti yang dilansir dari Antaranews.com, pada 18 September 2024, berpotensi menambah beban keuangan negara secara signifikan. Semakin banyaknya menteri dalam kabinet tentu berarti kebutuhan dana untuk gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya akan semakin besar. Di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dan utang negara yang terus meningkat, hal ini menjadi perhatian serius.

Penambahan pos kementerian tidak hanya memerlukan anggaran untuk membayar gaji menteri, tetapi juga biaya operasional kementerian itu sendiri. Anggaran negara yang terbatas berpotensi dipaksa untuk menutupi biaya-biaya tersebut, yang pada akhirnya dapat memicu kenaikan utang negara. Tidak hanya itu, untuk menutupi kebutuhan anggaran, pemerintah bisa jadi mengambil langkah yang sudah populer, seperti menaikkan pajak atau memangkas anggaran di sektor lain yang lebih krusial bagi masyarakat, seperti pendidikan atau kesehatan.

Situasi ini menghadirkan risiko ganda yaitu, beban keuangan negara semakin berat, sementara rakyat mungkin harus menanggung beban tambahan melalui kenaikan pajak atau berkurangnya layanan publik. Dengan kondisi seperti ini, pertanyaan besar muncul, apakah pembentukan kabinet yang gemuk benar-benar sepadan dengan manfaat yang diperoleh?

Kabinet Gemuk Berpotensi Tumpang Tindih Kebijakan dan Risiko Korupsi

Salah satu risiko terbesar dari pembentukan kabinet gemuk adalah terjadinya tumpang tindih kebijakan. Dengan bertambahnya jumlah kementerian, batas-batas otoritas dan tanggung jawab di antara mereka bisa menjadi tidak jelas. Hal ini berpotensi menimbulkan birokrasi yang lebih lambat dan tidak efisien, karena setiap kementerian bisa saling berkompetisi dalam menetapkan kebijakan, bahkan dalam ranah yang serupa.

Misalnya, ada kemungkinan beberapa kementerian memiliki agenda yang sama dalam menangani isu-isu seperti pendidikan, pembangunan ekonomi, atau lingkungan. Namun, alih-alih berkolaborasi, kementerian-kementerian tersebut justru bisa saling bertabrakan, mengakibatkan kebijakan yang tidak sinkron. Kebijakan yang tumpang tindih ini akan mengurangi efektivitas program-program pemerintah, karena tidak ada satu arah yang jelas dalam pelaksanaannya. Akibatnya, bukannya menyelesaikan masalah, malah menciptakan kebingungan dan ketidakpastian di kalangan masyarakat dan dunia usaha.

Selain masalah tumpang tindih kebijakan, pembentukan kabinet gemuk juga membuka peluang lebih besar untuk terjadinya korupsi. Semakin banyak pos menteri yang diisi, semakin besar pula celah-celah yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk korupsi atau menyalahgunakan wewenang. Kementerian yang bertugas dalam wilayah yang sama, tetapi memiliki anggaran yang berbeda, bisa saja menggunakan anggarannya secara tidak bertanggung jawab tanpa adanya pengawasan yang memadai. Di tengah minimnya akuntabilitas, risiko kebocoran anggaran dan praktik korupsi akan semakin meningkat.

Meski alasan pembentukan kabinet gemuk mungkin didasarkan pada kebutuhan untuk mengakomodasi berbagai kepentingan politik, ini belum menjadi jaminan bahwa kebijakan yang dihasilkan akan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat luas. Malahan, ada kemungkinan kabinet gemuk ini hanya akan menambah kompleksitas dan biaya dalam pemerintahan, tanpa memberikan manfaat yang signifikan bagi rakyat.

Sistem Pemerintahan Kapitalis Tidak Berpihak Kepada Rakyat

Sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia adalah sistem kapitalis. Dalam sistem ini, kebijakan pemerintah cenderung lebih berpihak kepada para pemilik modal besar ketimbang rakyat kecil yang membutuhkan. Pemerintah sering kali memberikan kemudahan akses dan berbagai insentif kepada korporasi besar dengan dalih pertumbuhan ekonomi. Namun pada kenyataannya, kebijakan tersebut lebih menguntungkan segelintir elit ekonomi. Sementara kepentingan rakyat justru semakin tersingkirkan.

Dalam sistem kapitalis, kesejahteraan rakyat tidak menjadi prioritas utama. Kesejahteraan publik sering dikorbankan demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Sektor-sektor penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti kesehatan, pendidikan, dan sumber daya alam, sering kali diserahkan kepada pihak swasta. Akibatnya, rakyat harus membayar mahal untuk mendapatkan akses terhadap layanan yang seharusnya menjadi hak dasar mereka.

Seharusnya, pemerintah berfungsi sebagai pelayan rakyat, memastikan bahwa setiap warganya mendapatkan kehidupan yang layak. Namun, dalam sistem kapitalis, fokus lebih banyak diarahkan pada bagaimana menjaga aliran modal dan investasi, tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi kesejahteraan mayoritas masyarakat. Inilah yang menjadi kelemahan mendasar dari sistem ini.

Khilafah: Kepemimpinan yang Bertanggung Jawab dan Efisien

Dalam sistem Khilafah, kepemimpinan tertinggi dipegang oleh seorang Khalifah yang memikul amanah besar untuk mengatur seluruh urusan rakyat sesuai syariat Islam. Khalifah bertanggung jawab penuh atas jalannya pemerintahan dan kesejahteraan rakyat.
Namun, meski Khalifah memiliki tanggung jawab penuh, ia tidak bekerja sendiri. Khalifah diperbolehkan mengangkat pembantu atau pejabat yang bertugas membantu menjalankan urusan pemerintahan.

Para pejabat ini dipilih berdasarkan kapasitas, efektivitas, dan efisiensi dalam melaksanakan tugas mereka. Jobdesk atau deskripsi pekerjaan mereka jelas dan terperinci, baik dalam urusan kekuasaan maupun non-kekuasaan, sehingga tidak ada tumpang tindih kewenangan. Misalnya, dalam urusan pengelolaan wilayah, Khalifah bisa mengangkat seorang Wali atau Gubernur yang bertugas memimpin daerah tertentu. Dalam urusan ekonomi,

Khalifah bisa mengangkat pejabat yang bertanggung jawab atas administrasi harta, seperti pengelolaan Baitul Mal.
Setiap pejabat yang diangkat harus memenuhi kualifikasi syariat, seperti amanah, adil, dan berkompeten. Mereka juga diawasi ketat oleh Khalifah, rakyat, serta lembaga-lembaga pengawas yang ada dalam struktur pemerintahan Khilafah. Dengan sistem pengawasan yang ketat ini, para pejabat diharapkan bisa menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan efisien. Khalifah sendiri akan memastikan bahwa kebijakan yang diambil selalu mengarah pada kepentingan umat, bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu.

Dalam sistem Khilafah, tidak ada ruang untuk korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Sebagaimana Rasulullah saw, bersabda:

“Barang siapa yang kami angkat untuk mengurus suatu pekerjaan, kemudian ia menyembunyikan meskipun hanya sebesar jarum atau lebih kecil dari itu, maka itu adalah ghulul (korupsi), dan ia akan datang dengan membawa barang tersebut pada hari kiamat” (HR. Muslim).
Sistem ini menjaga agar semua pejabat bekerja hanya untuk kepentingan rakyat dan dalam koridor syariat Islam yang jelas.

Wallahualam bissawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *