Oleh. Asma Sulistiawati, S. Pd
(Praktisi Pendidikan)
Judi online atau judol telah menggurita di negeri ini. Pasalnya, hampir seluruh elemen masyarakat kecanduan judol, bahkan parahnya judol kini telah menyusup ke situs lembaga pendidikan dan pemerintahan. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Budi Arie Setiadi mengungkapkan ada belasan ribu konten phishing yang berkedok judi online telah menyusup ke situs lembaga pendidikan dan pemerintahan. Phishing sendiri merupakan suatu bentuk kejahatan digital atau penipuan yang berusaha mengambil informasi atau data pribadi korban.
Di lembaga pendidikan ada 14.823 konten judi online yang menyusup dan di lembaga pemerintahan ada 17.001 konten yang menyusup atau phishing. Dalam hal ini, pemerintah mengatakan bahwa mereka telah melakukan pemblokiran terhadap beberapa situs judol. Setidaknya ada 1.904.246 konten Judi online (cnbcindonesia.com, 23-05-2024).
Akar Masalah
Sungguh miris melihat kasus judi online kian menggurita di negeri ini, bahkan Indonesia menjadi penyandang judol tertinggi di dunia. Berdasarkan data Kominfo, pemain judol di Indonesia sudah mencapai 2,7 juta. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mencatat perputaran uang judol pada 2023 mencapai Rp327 triliun, meningkat tiga kali lipat dari 2022 (Rp104,4 triliun). Pada 2024 diprediksi jauh lebih besar lagi.
Makin banyaknya pelaku judol sejatinya diakibatkan dari minimnya pengetahuan tentang bahaya dari judol itu sendiri ditambah dengan minimnya ketakwaan terhadap pencipta-Nya dan juga tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Disadari ataupun tidak, judol layaknya narkoba yang bisa membuat seseorang ketagihan. Seseorang yang telah masuk ke dalam judol seakan menikmati hal tersebut. Bagaimana tidak, di awal permainan judol akan memberikan keuntungan besar bagi para pelakunya. Hal ini membuat para pelaku tergoda dengan keberuntungan tersebut dan ingin terus memainkannya. Apalagi, tanpa bekerja keras mereka sudah bisa mendapatkan keuntungan berlipat-lipat. Padahal itu semua hanya tipu daya para bos besar judol.
Di sisi lain, akibat angka kemiskinan yang tinggi sering kali membuat orang pun terjerat judol. Mengapa demikian, sebab mereka berfikiran hanya dengan mengeluarkan modal besar, maka keuntungan yang didapatkan bisa berkali-kali lipat. Sebagai contoh seorang ibu rumah tangga yang mengeluarkan modal hanya Rp100 bisa mendapatkan Rp1.000.000 dengan sekali main.
Efek Kapitalisme
Sejatinya tingginya angka judol di Indonesia tidak lepas dari sistem kehidupan yang diemban negeri ini yakni kapitalisme demokrasi. Sistem ini telah meniscayakan keberadaan materi sebagai asas untuk aspek kehidupan mereka. Dengan kata lain, apa pun akan dilakukan ketika dapat menghasilkan manfaat dan keuntungan besar walaupun menabrak syariat Islam. Masyarakat seakan bebas melakukan apa pun yang mereka inginkan tanpa memandang lagi halal dan haram sebagai tolak ukur perbuatan mereka.
Sistem ini juga memandulkan peran negara sebagai periayah urusan rakyat. Negara membiarkan adanya kemiskinan akut dan tidak mendorong rakyatnya untuk bertakwa kepada Allah. Alhasil, benteng utama rakyat yakni keimanan kepada Allah lemah, ditambah beban hidup rakyat yang berat membuat mereka nekat untuk judol. Apalagi diketahui bahwa judol membuat orang ketagihan jika tidak ada benteng kuat yang menghalanginya yakni ketakwaan kepada Allah.