Opini

Jual Beli Kursi dalam PPDB, Hanya Islam yang Bisa Mengatasi

97

 

Oleh Ana Ummu Rayfa

Aktivis Dakwah

 

Tahun ajaran baru sudah dimulai. Para siswa sudah mulai menjalani proses pembelajaran. Namun, kisruh PPDB masih menjadi sorotan. Carut marut PPDB zonasi mencuat kembali dengan adanya dugaan kecurangan karena 18 calon siswa dari Desa Panyadap, Kecamatan Solokan Jeruk, tidak diterima di SMAN 1 Majalaya. Padahal, jarak rumah mereka terhitung dekat dan syarat administrasi pun dapat terpenuhi. Dikatakan oleh orang tua dari salah satu siswa tersebut, Adang Safarjat (52) bahwa anaknya gagal masuk ke SMAN 1 Majalaya baik jalur zonasi maupun jalur prestasi, sedangkan menurutnya beberapa anak yang berada diluar jalur zonasi dapat diterima.

Menanggapi hal ini, Egi Yogaswara selaku Sekretaris Desa Panyadap mengakui bahwa praktik jual beli kursi sudah terjadi bahkan sejak tahun 2023. Egi mengungkap bahwa pihaknya sudah berdialog dengan pihak sekolah, bahkan mengajukan somasi dan meminta kompensasi untuk siswa yang tidak diterima. Dengan pengalaman ini, Egi mengatakan pihaknya berinisiatif melakukan pengecekan ulang pada siswa yang terdaftar. Hasilnya, ditemukan beberapa siswa yang Kartu Keluarganya baru beberapa bulan saja terdaftar di Desa Panyadap. Diungkap Egi, harga satu buah kursi yang diperjualbelikan seharga 5juta sampai belasan juta. (media online detik.com.jabar)

Kebijakan pemerintah dalam PPDB sistem zonasi ini sejatinya mempunyai tujuan yang baik, yaitu menghilangkan favoritisme sekolah dan mengurangi adanya jurang kasta dalam dunia pendidikan. Perbedaan ini nampak pada perbedaan sarana dan prasarana sekolah, sehingga dengan sistem zonasi diharapkan setiap siswa dapat merasakan pendidikan secara merata. Jarak sekolah yang dekat juga dapat menghemat biaya transportasi yang tentunya meringankan beban orangtua. Tetapi, hal ini tidak diimbangi oleh jumlah sekolah yang memadai. Sehingga, masih banyak warga yang tidak dapat masuk ke sekolah negeri karena jauh dari tempat tinggalnya. Inilah yang menjadi celah munculnya kecurangan. Berbagai cara dilakukan, mulai dari manipulasi dan pemalsuan KK, menitipkan nama siswa pada KK penduduk daerah setempat, dan cara-cara lainnya yang disinyalir bernilai sampai belasan juta rupiah.

Cara pandang masyarakat mengenai sekolah favorit tidak terlepas dari pendidikan sekuler kapitalis yang menjadikan materi sebagai patokan ukuran dari segala sesuatu. Sehingga, masyarakat menganggap kesuksesan seorang anak diukur dari nilai materi saja dan itu akan didapatkan bila anak bersekolah di sekolah favorit. Selain itu, belum meratanya kualitas pendidikan disebabkan belum meratanya infrastruktur pendidikan di seluruh wilayah. Maka dari itulah banyak orang tua yang menghalalkan segala cara termasuk jual beli kursi, supaya anaknya dapat diterima di sekolah yang diinginkan. Padahal, tujuan sekolah adalah mendapat ilmu. Bagaimana anak akan mendapat ilmu yang berkah dan berguna untuk kehidupannya bila dimulai dengan cara yang curang dan diharamkan?

Exit mobile version