OpiniOpini

Janji Manis Tunjangan, Guru Tetap Terjajah

129

 

Oleh: Jelvina Rizka

 

Kenaikan tunjangan guru sering kali disambut sebagai kabar baik yang diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Namun, benarkah janji manis ini mampu menghapus beban hidup yang kian berat? Dalam sistem kapitalisme, upaya semacam ini sering kali hanya menjadi langkah tambal sulam untuk meredam protes tanpa benar-benar menyelesaikan akar permasalahan. Guru tetap dihadapkan pada biaya hidup yang terus meningkat, tuntutan kerja yang semakin berat, serta minimnya penghargaan terhadap peran strategis mereka dalam membangun generasi masa depan. Apakah kenaikan tunjangan cukup, ataukah ini hanya sekadar ilusi kesejahteraan dalam sistem yang tak berpihak pada mereka?

 

Dilansir dari TEMPO.CO, Jakarta – Presiden Prabowo telah mengumumkan kenaikan gaji guru saat puncak peringatan Hari Guru Nasional pada Kamis, 28 November 2024. Bagi guru berstatus ASN akan mengalami kenaikan sebesar satu kali gaji pokok. Sementara tunjangan profesi guru non-ASN akan naik menjadi Rp2 juta. Menanggapi hal itu, Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Fahriza Marta Tanjung menilai, tidak ada perubahan dengan rencana menaikan gaji ASN sebesar 1 kali gaji pokok. Sebab, guru ASN yang sudah mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan menerima sertifikasi, selama ini telah menerima satu kali gaji pokok. Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menaikkan alokasi anggaran untuk kesejahteraan guru ASN dan non-ASN pada 2025 menjadi Rp81,6 triliun, naik sebesar Rp16,7 triliun dibandingkan tahun sebelumnya.

 

Fakta menunjukkan bahwa kenaikan tunjangan atau gaji guru tidak selalu berdampak langsung pada peningkatan kualitas pendidikan. Dalam banyak kasus, kenaikan ini lebih difokuskan untuk menutupi kebutuhan dasar guru yang sebelumnya terabaikan, seperti akses kesehatan, pendidikan anak, atau bahkan kebutuhan sehari-hari. Tanpa perubahan mendasar dalam sistem pendidikan termasuk kurikulum yang relevan, sarana yang memadai, dan kebijakan yang mendukung pengembangan profesional guru gaji yang lebih tinggi hanya menjadi pelipur lara sementara. Sebaliknya, kualitas pendidikan sering kali terhambat oleh masalah struktural, seperti kurangnya pemerataan distribusi tenaga pendidik, tekanan administratif yang berlebihan, serta ketergantungan pada model pendidikan berbasis pasar yang mengutamakan keuntungan daripada mutu pembelajaran. Dalam sistem kapitalisme, fokus pada aspek material sering mengabaikan kebutuhan esensial yang lebih kompleks, sehingga kualitas pendidikan tetap menjadi korban.

 

Dalam sistem pendidikan kapitalis, kedudukan guru sering kali dipandang sebagai tenaga kerja biasa yang diukur berdasarkan produktivitas ekonomi, bukan sebagai pilar utama pembentukan karakter dan intelektual generasi bangsa. Kesejahteraan guru kerap menjadi isu pinggiran yang hanya dibahas saat ada tekanan publik atau kebutuhan politik, sementara kebutuhan mereka yang mendasar sering diabaikan. Sistem kapitalisme memandang pendidikan sebagai komoditas yang harus menghasilkan keuntungan, sehingga guru diposisikan layaknya pekerja yang tunduk pada logika pasar. Mereka dibebani tanggung jawab besar untuk mencetak “sumber daya manusia” yang kompetitif secara ekonomi, namun tidak diberi penghargaan yang sebanding, baik dari segi finansial maupun penghormatan terhadap profesi mereka.

 

Hal ini terjadi karena negara dan para pemimpin abai dalam menjalankan tanggung jawab mereka sebagai pelindung dan pengatur urusan rakyat, termasuk pendidikan. Alih-alih memastikan kesejahteraan guru dan kualitas pendidikan, negara lebih sering menyerahkan urusan pendidikan kepada mekanisme pasar atau swasta. Kebijakan seperti privatisasi pendidikan dan minimnya alokasi anggaran untuk sektor ini menjadi bukti nyata bahwa pendidikan tidak dianggap sebagai prioritas. Dalam Islam, pemimpin bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyatnya, termasuk guru, karena mereka adalah penjaga amanah pendidikan generasi. Abainya negara dalam menjamin kesejahteraan guru adalah cerminan dari kegagalan sistem kapitalis yang hanya berorientasi pada keuntungan material, bukan pada pembangunan manusia yang holistik. Tanpa perubahan sistemik yang mendasar, kesejahteraan guru dan kualitas pendidikan akan terus menjadi isu yang berulang tanpa solusi nyata.

 

Dalam sejarah kekhilafahan Islam, kedudukan guru dan pendidikan mendapatkan perhatian yang sangat besar dari negara. Salah satu contohnya adalah masa Kekhilafahan Abbasiyah di bawah pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid. Pada masa itu, guru dan pendidik bukan hanya diberikan penghargaan tinggi secara sosial, tetapi juga dijamin kesejahteraannya oleh negara. Khalifah memastikan bahwa kebutuhan hidup para guru terpenuhi, sehingga mereka dapat fokus sepenuhnya pada tugas mendidik tanpa harus khawatir tentang penghasilan. Sistem pendidikan juga didukung dengan fasilitas seperti perpustakaan, madrasah, dan pusat-pusat ilmu pengetahuan yang dapat diakses oleh masyarakat luas tanpa biaya, karena pendanaan sepenuhnya berasal dari baitul mal.

 

Hal ini sangat berbeda dengan kondisi dalam sistem kapitalis saat ini. Dalam sistem Islam, pendidikan dipandang sebagai tanggung jawab negara yang bersifat fardhu kifayah, di mana pemimpin bertanggung jawab langsung atas terselenggaranya pendidikan berkualitas yang mencakup semua aspek kehidupan. Contoh lain dapat dilihat pada masa Kekhilafahan Utsmaniyah, di mana lembaga pendidikan seperti madrasah menyediakan tidak hanya gaji yang layak bagi guru, tetapi juga kebutuhan dasar lainnya, seperti tempat tinggal dan akses kesehatan. Dengan cara ini, guru dihormati sebagai penjaga ilmu dan pembentuk generasi, sementara pendidikan disediakan secara cuma-cuma kepada masyarakat, mencerminkan keseriusan negara dalam membangun peradaban yang kuat. Model ini menunjukkan bagaimana negara Islam benar-benar menempatkan pendidikan dan kesejahteraan guru sebagai prioritas utama, bukan sekadar retorika atau kebijakan tambal sulam.

 

Exit mobile version