Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا
Dan, orang-orang yang berkata, “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Furqon:74)
Tentunya bagi keluarga yang shalih yang berharap keshalihan terbangun di di dalamnya, setiap orang tua yang mengemban amanah mulia, tidak akan pernah melewatkan doa ini. Orang tua yang berharap pada kemuliaan, akan senantiasa menginginkan anak-anaknya menjadi penyejuk hati orang-orang dekatnya, terutama orang tuanya.
Anak adalah anugerah Allah Swt., sekaligus amanah dan titipan paling berharga yang harus dijaga, dirawat, dan dididik agar menjadi penyejuk hati.
Merupakan suatu keharusan bagi keluarga-keluarga muslim mewujudkan adanya perhatian yang saksama terhadap anak-anaknya agar tumbuh menjadi generasi yang berkualitas prima. Generasi berkepribadian Islam yang tangguh dan selalu menjaga sikap dan perilakunya dengan baik. Dengan demikian, mereka siap terjun dalam kancah kehidupan dengan membawa Islam di setiap langkah-langkahnya.
Sayangnya, hari ini, di sistem yang telah merasuk dalam hidup, sampai pada menjebol benteng keluarga, keharusan menjadi kebejatan. Keluarga shalih berantakan. Kasih sayang seakan hanya sandiwara. Tak ada nilai yang mampu diwariskan, kecuali keburukan perilaku, akibat rusaknya keimanan.
Kasus-kasus jual bayi karena ekonomi, jual anak untuk dilacurkan, dan serentetan kasus lainnya terkait anak, menorehkan luka dalam terkait harapan munculnya generasi cemerlang.
Menyakitkan. Seorang ibu berinisial E (43) tega membiarkan anaknya T yang berusia 13 tahun diperkosa oknum kepala sekolah (kepsek) SD di Sumenep, J (41). Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Sumenep tersangka J akan segera diberhentikan dari jabatannya. Dilansir detikJatim, tersangka J memerkosa korban, yang merupakan anak dari selingkuhannya, E (43). Mirisnya lagi, perilaku tidak beradab tersangka itu didukung ibu korban yang selalu mengantarkan anaknya untuk diperkosa J (detik.com, 02-09-2024).
Seorang ibu, alih-alih dia mendidik, membangun kepribadian anaknya agar sempurna menjadi sosok yang mulia. Si anak malah diarahkan dan dibinasakan kehidupannya dengan menyerahkannya untuk dirudapaksa.
Sungguh betapa dosa berlipat dilakukan E. Selingkuh, zina, mengabaikan anak, membiarkan anak dirudapaksa, dan sederet kelalalaian lainnya, menunjukkan kegilaan di luar nurul bagi sosok yang bernama “ibu“.
Anak adalah Amanah
Allah Swt. berfirman,
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sesungguhnya, Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan memikul amanat itu. Mereka khawatir akan mengkhianatinya. Kemudian, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS Al Ahzab: 72).
Sesungguhnya, perkara amanah adalah sesuatu yang sangat besar. Langit, bumi, dan gunung-gunung merasa khawatir dan takut untuk memikulnya. Akhirnya amanah dipikul oleh manusia.
Imam Qurtubi dalam tafsirnya menerangkan bahwa yang dimaksud dengan amanah adalah semua tugas-tugas keagamaan, yakni segala perintah dan larangan-Nya. Dalam hadis riwayat Imam Tirmidzi, Rasulullah saw. bersabda,
“Allah berkata kepada Adam as., ‘Wahai Adam, Aku telah menawarkan amanah kepada langit dan bumi, mereka tidak mau dan tidak mampu memikulnya. Maukah engkau memikulnya?’ Adam berkata, ‘Apa amanah itu, wahai Tuhanku?’ Allah menjawab, ‘Sesuatu yang jika engkau laksanakan, akan Aku beri imbalan, sedangkan jika engkau sia-siakan, engkau akan Aku siksa.’ Adam pun mengembannya. Setelah mengemban amanah ini, Adam hanya tinggal sekitar waktu salat Zuhur sampai Asar saja di surga sampai setan menggelincirkannya.”
Islam memiliki konsep sahih dalam mewujudkan amanah terhadap anak. Allah Swt. telah mewajibkan para orang tua untuk menjalankan tanggung jawab mereka dalam menjaga, melindungi, dan mendidik anak. Konsekuensi dari tanggung jawab ini terkait erat dengan pahala dan dosa. Allah berfirman dalam ayat,
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal : 27).
Atas dasar itu, orang tua harus berupaya semaksimal mungkin menjalankan kewajibannya. Mereka memahami bahwa kelak Allah akan meminta pertanggungjawaban atas amanah tersebut. Untuk itu, agar orang tua dapat menjalankan perannya, sudah selayaknya negara menciptakan iklim kondusif.
Semua realitas anak pada era sekuler kapitalisme saat ini jelas menunjukkan bahwa mereka tidak mendapatkan iklim kehidupan yang kondusif untuk menjadi para calon generasi terbaik. Ini tentu saja menyelisihi fitrah penciptaan bahwa Allah Taala telah menciptakan manusia dalam rangka mengisi peradaban terbaik pula, berikut seperangkat karakter mereka yang akan mengisi peradaban tersebut.
Allah telah memerintahkan para orang tua untuk menjaga anak-anaknya menurut fitrah penciptaan tersebut. Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. ….” (QS At-Tahrim [66]: 6).
Allah Ta’ala juga berfirman,
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Ali Imran [3]: 110).
Demikian pula dalam ayat,
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Furqon:74)
Pada awal kehidupannya, setiap anak berhak mendapatkan hadanah (pengasuhan anak dalam bentuk penyusuan) dan kafalah (pengasuhan anak berupa perlindungan secara umum meliputi hadanah dan khidmah/pelayanan). Pengasuhan yang syar’i bukanlah edukasi berupa ilmu parenting, psikologi, maupun pendidikan yang bersumber dari peradaban Barat, melainkan yang bersumber dari Islam yang sudah pasti sejalan dengan fitrah penciptaan mereka. Semua ini akan menjadi bekal penting saat mereka menjadi mukalaf (akil, balig, terbebani hukum syarak) nanti.
Selanjutnya, sebagai individu manusia, setiap anak juga berhak memperoleh pemenuhan kebutuhan primer layaknya manusia dewasa, yakni berupa sandang, pangan, dan papan. Mereka juga berhak atas hak-hak publik sebagai wujud pengurusan oleh negara berupa kesehatan dan pendidikan.
Demikianlah semestinya wujud perlindungan hakiki bagi anak.
Pengabaian hak penjagaan akidah, juga kebutuhan primer, sekunder, maupun hak publik bagi anak-anak, jelas mengantarkan mereka pada kebinasaan. Bukan malah anak diperlakukan selayaknya barang dagangan hanya untuk memuaskan syahwat seorang ibu yang penuh ketidakwarasan. Jauh dari nurani fitrah seorang ibu. Naudzu billaahi min dzaalik.
Fitrah Ibu Hilang, Fitrah Anak Melayang
Perbuatan asusila yang terjadi pada sekelumit kisah yang melibatkan pendidik (ibu E Dan Pak Kepsek J) tidak terlepas dari faktor yang memengaruhinya. Ada beberapa faktor penyebab seorang ibu seperti E menyerahkan putrinya untuk dirudapaksa.
Dari segi agama, perilaku ibu E ini jelas menyelisihi fitrah. Segala sesuatu yang bertentangan dengan fitrah manusia pasti merupakan masalah. Misalnya, pada fitrahnya, manusia adalah makhluk yang membutuhkan rumah untuk bisa berteduh. Walhasil, akan jadi masalah apabila tidak ada tempat yang bisa digunakan untuk berteduh.
Begitu pula dengan fitrah ibu. Secara firah, ibu memiliki peran yang sangat mulia. Betapa pengorbanan dan kasih sayang yang mengalir dari jiwa dan raganya begitu besarnya. Mulai dari mengandung, melahirkan, merawat, hingga mendidik dan menjaga anak-anaknya. Begitulah kemuliaan seorang ibu yang akan berkontribusi melahirkan dari rahimnya para insan cemerlang.
Ibu merupakan guru pertama, sebelum anak belajar dengan guru mana pun. Oleh karenanya, kecerdasan, keuletan, dan perangai sang ibu adalah faktor dominan bagi pendidikan dan masa depan anak. Itulah fitrah seorang ibu.
Sungguh, kasus ibu E menegaskan bahwa dalam sistem sekuler saat ini, fitrah seorang ibu sudah sedemikian hancur. Tidak hanya berdampak pada pendidikan dan perkembangan anak kandungnya sendiri, melainkan telah merusak moral dan mental anak sebegai korban rudapaksa yang notabene masih dalam masa pertumbuhan—yang sejatinya masih perlu mendapatkan pendidikan dan asuhan yang terbaik.
Hanya saja, kelalaian sang ibu telah nampak dari gaya hidup anak yang melihat kesenangan ekonomi sebagai tujuan. Ibu E telah menancapkan gaya hidup materialistis dalam benak T anaknya yang berusia 13 tahun. Hanya karena ingin sepeda motor, si anak rela-rela saja mengikuti petunjuk bejat si ibu untuk mengikuti syahwat binatang bapak J yang menjanjikan sepeda motor jika E menyerahkan anaknya T untuk disetubuhi dengan alasan ritual suci.
Inilah produk sekularisme, menjadikan seluruh sistem kehidupan lepas dari aturan beragama. Agama dikerdilkan dalam ranah ibadah semata. Hilangnya penerapan sistem sosial Islam saat ini melahirkan banyaknya perilaku keji. Belum lagi adanya kebebasan berekspresi, membuat manusia merasa bisa bebas berbuat semaunya.
Tayangan berbau sensual dan tidak senonoh pun bebas berkeliaran. UU yang mengatur pornografi dan pornoaksi seolah lumpuh memberangus peredaran konten-konten tersebut. Banyak sekali perbuatan amoral berbau syahwat yang terbukti berawal dari tontonan yang dijadikan tuntunan oleh para pelaku.
Padahal masa kanak-kanak mempunyai keistimewaan berupa kelenturan, kesucian, dan fitrah. Oleh karenanya, jika masa kanak-kanak ini dibangun dengan penjagaan, bimbingan, dan arahan yang baik, kelak ketika dewasa, mereka akan kukuh menghadapi berbagai guncangan.
Namun, tidak demikian pada T anak dari ibu E. Bimbingan atau pembinaan awal yang harus dilakukan untuk menanamkan akidah islamiah yang kukuh dan mengakar, juga kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta Al-Qur’an dan hadis-hadis Rasul, tidaklah tertanam dalam diri T.
Seharusnya secara fitrah, seorang ibu pasti akan menjaga dan melindungi anaknya dari kejahatan apa pun. Namun, yang dilakukan E kepada anaknya jelas menyalahi fitrahnya sebagai seorang ibu. Perbuatan nista dilakukannya menyertakan anak yang lahir dari rahimnya. Kasih sayang telah hilang darinya, nalurinya mati rasa, dan sang anak terkena dampak kebejatannya. Kondisi ini tentunya terangkai perusakannya secara sistemis. Beberapa faktor telah menyeret E, antara lain:
Pertama, iman yang lemah telah merusak akal dan nalar manusia. Tidak bisa kita mungkiri, keimanan yang lemah akan mendorong seseorang berbuat keji dan asusila. Jika iman rusak, hawa nafsu berkuasa, akal dan naluri keibuan bisa hilang tidak bersisa.
Tragis, demi uang, sang ibu tega menjual anaknya ke pria bejat. Demi menutupi aksi perselingkuhan, ia rela anaknya menjadi korban perbuatan asusila. Sudahlah selingkuh, anak diserahkan ke lelaki hidung belang, keluarga pun hancur akibat perbuatan tercela sang ibu.
Kedua, penerapan sistem sekuler kapitalisme berdampak pada kehidupan sosial masyarakat. Seorang ibu yang rela menjual anaknya ke selingkuhannya adalah bukti nyata betapa kebobrokan moral akibat kehidupan sekuler sudah sangat parah. Sistem sekuler kapitalisme telah menjauhkan individu dari ketaatan kepada Allah Taala. Alhasil, tujuan hidup hanya untuk memenuhi hasrat materi dan hawa nafsu.
Sistem sekuler kapitalisme menjamin kebebasan berperilaku yang mendorong seseorang berbuat sesuka hatinya. Dalam sistem ini, manusia diberi kebebasan berperilaku dan berekspresi sesuai keinginannya selama tidak mengganggu hak/privasi orang lain. Lalu lahirlah perilaku bebas tanpa batas, semisal pacaran, zina, berinteraksi dengan lawan jenis tanpa aturan, khalwat (berdua-duaan dengan nonmahram), ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan), dan cara berpakaian yang tidak sesuai dengan Islam.
Ketiga, sistem pendidikan berbasis sekularisme tidak akan membawa kebaikan. Lihat saja, oknum pegawai negara yang notabene juga pendidik malah berbuat asusila. Jika dicermati lagi, oknum ibu dan kepsek yang menjadi tersangka itu juga produk pendidikan sekuler yang sudah mengakar dalam sistem pendidikan hari ini. Bahkan mereka yang sudah dibekali pendidikan agama di keluarga masih memungkinkan berbuat maksiat. Ini karena porsi pendidikan agama dalam kurikulum pendidikan sebatas materi pelengkap, bukan menjadi landasan dan pedoman dalam melakukan perbuatan.
Dari sudut pandang peserta didik, anak-anak hanya diajarkan cara menjadi individu sukses dengan meraih materi sebanyak-banyaknya. Inilah di antara dampak kapitalisme. Tolok ukur kebahagiaan dinilai dengan kacamata materi dan kesenangan duniawi. Sistem pendidikan sekuler kapitalisme tidak membentuk anak agar memiliki ketaatan dan ketakwaan. Mereka hanya dididik cara meraih capaian-capaian yang bersifat duniawi semata.
Keempat, sistem sanksi bagi pelaku asusila dan zina yang diberlakukan hari ini tidak memberi efek jera. Akibatnya, perbuatan asusila dan zina merebak di mana-mana.
Penerapan sistem kapitalisme telah merenggut fitrah dan naluri seorang ibu. Sistem ini sangat rusak dan merusak sehingga tak layak lagi diterapkan.
Sistem Islam sangat Menjaga Fitrah Ibu
Sesungguhnya ibu memiliki peran mulia dan utama. Ibu merupakan sekolah pertama bagi anak-anaknya. Dari rahimnya, terlahir generasi berkualitas. Peran ibu tidak sekadar mengandung, melahirkan, menyusui, dan memberi makan, melainkan ibu harus mumpuni dalam memberikan pengasuhan dan pendidikan kepada anak-anaknya.
Selain kecukupan jasmani, seorang ibu wajib mendidik anaknya dengan menanamkan akidah Islam yang kuat dan membiasakan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karenanya, para ibu dan calon ibu wajib membekali diri mereka dengan pemahaman Islam yang benar. Dengan peran strategis ini, Islam memberikan perhatian besar bagi keberlangsungan generasi, termasuk membangun support system bagi para ibu untuk mengoptimalkan perannya, baik di ranah domestik atau publik (misalnya tempat kerja). Support system tersebut adalah negara sebagai penjaga dan pelindung rakyat.
Negara harus memiliki daya dan upaya untuk melakukan aktivasi sistem agar benar-benar terbentuk ketakwaan komunal, di antaranya:
Pertama, negara tidak akan membebani para ibu dengan permasalahan ekonomi. Negara akan menjamin pemenuhan kebutuhan dasar dengan memudahkan para ayah dalam mencari nafkah, seperti membuka lapangan pekerjaan atau memberikan bantuan modal usaha. Negara akan memprioritaskan perekrutan pekerja laki-laki dibandingkan perempuan.
Meski demikian, Islam membolehkan perempuan bekerja di ranah publik, seperti menjadi guru, kepala sekolah, perawat, dokter, tenaga kesehatan, dan sebagainya. Akan tetapi, Islam akan mengatur jam kerja bagi perempuan sehingga tidak akan menyita kewajibannya dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya, semisal tidak ada jam kerja malam bagi perempuan.
Kedua, menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang akan membentuk generasi berkepribadian Islam. Seluruh perangkat pendidikan, mulai dari kurikulum, buku ajar, sistem pengajaran, dan sebagainya harus berasas akidah Islam. Negara juga akan menyediakan dan membentuk tenaga guru profesional yang salih/salihah.
Ketiga, penerapan sistem pergaulan Islam akan mencegah masyarakat bergaul tanpa batas. Larangan pacaran, berzina, dan berkhalwat, kewajiban memisahkan kehidupan laki-laki dan perempuan, dan kebolehan berinteraksi dengan lawan jenis hanya dalam perkara-perkara yang disyariatkan saja, seperti silaturahmi kepada kerabat, berjual beli, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Dengan pengaturan ini, pergaulan mereka akan terjaga dan kondusif.
Keempat, menyaring dan mencegah berbagai informasi yang tidak mendukung dalam mencetak generasi berkualitas, seperti konten porno, tayangan yang mengumbar maksiat, ataupun tontonan nirfaedah.
Kelima, negara mendidik dan mengedukasi masyarakat agar senantiasa berbuat sesuai syariat Islam, tidak terlena dengan kenikmatan dunia, beramal untuk bekal akhirat, dan beramar makruf nahi mungkar terhadap kemaksiatan. Hal ini bisa dilakukan dengan menciptakan suasana iman dan ibadah di masyarakat dengan penerapan sistem sosial dan pergaulan berdasarkan syariat Islam.
Keenam, penindakan setiap pelanggaran syariat dengan penegakan sistem sanksi yang memberi efek jera bagi pelaku. Penegakan sanksi adalah bentuk perlindungan dan jaminan negara terhadap keselamatan rakyatnya, termasuk anak-anak. Negara tidak akan segan menegur bahkan menghukum orang tua yang berbuat zalim kepada anaknya. Sebaliknya, negara akan memberlakukan hukuman jika ada anak yang berbuat zalim pada orang tuanya. Di mata syariat, tidak ada praktik tebang pilih hukum.
Demikianlah, sistem Islam dengan penerapan syariat Islam kafah di dalamnya, senantiasa mewujudkan suasana iman takwa. Di dalamnya terbentuk masyarakat yang sehat secara fisik dan psikis. Demikian juga dengan negara. Negara akan selalu melindungi generasi dari kerusakan yang menyerangnya. Semua ini hanyalah ada pada model negara yang telah dicontohkan selama hampir 14 abad lamanya. Negara inilah yang dikenal dengan negara Khilafah Islamiyyah. Negara yang tidak akan membiarkan diwariskannya perilaku bejat pada generasi selanjutnya.
Wallaahu a’laam bisshawaab.