Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Sebanyak 33 tokoh muslim Indonesia meluncurkan buku berjudul “Salve, Peregrinans Spei”, yang berarti “Salam Bagimu Sang Peziarah Harapan”, untuk menyambut kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3-5 September 2024. Buku ini tidak hanya sekadar sambutan, tetapi juga menggambarkan semangat keberagaman dan pluralisme yang hidup di Indonesia. “Kedatangan Paus Fransiskus adalah kesempatan bagi Indonesia untuk memperkuat dialog antaragama yang inklusif dan mencerahkan,” kata Sekretaris Frans Seda Foundation, Willem L Turpijn dalam keterangan resminya yang dikutip Kompas.com, Senin (02-09-2024). Buku ini juga diharapkan menjadi simbol komitmen Indonesia terhadap toleransi dan keadilan sosial.
Terkait kedatangan Paus ini pun Kementerian Agama telah menyampaikan surat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait penyiaran azan Magrib dan misa akbar bersama Paus Fransiskus. Surat tersebut berisi dua substansi. Pertama, saran agar misa bersama Paus Fransiskus pada 5 September 2024 disiarkan secara langsung pada pukul 17.00—19.00 WIB di seluruh televisi nasional. Kedua, agar penanda waktu Magrib ditunjukkan dalam bentuk running text sehingga misa bisa diikuti secara utuh oleh umat Katolik di Indonesia (Kemenag, 04-09-2024).
Tak ketinggalan dalam agenda kunjungan Paus ini, presiden Joko Widodo bersama Sri Paus Fransiskus menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya toleransi, keberagaman, dan perdamaian dunia dalam kunjungan kenegaraan bersejarah Paus Fransiskus ke Indonesia pada Rabu, 4 September 2024. Kedua pemimpin menekankan perlunya menjadikan perbedaan sebagai kekuatan dalam memperkuat persatuan, serta pentingnya menyuarakan perdamaian di tengah meningkatnya konflik global (presidenri.go.id, 04-09-2024).
Ya. Memang negeri Konoha ini beberapa waktu yang lalu (3-6 September 2024) mendapat kunjungan apostolik Paus Fransiskus, dan Indonesia menjadi negara pertama yang dikunjungi Paus Fransiskus dalam lawatannya di Asia-Pasifik.
Setelah dari Indonesia, Paus melakukan kunjungan ke Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura. Ini merupakan kunjungan pertama Paus ke Indonesia setelah kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada 1989.
Dari tiga kutipan berita atas, nampak beberapa misi tersirat dari kedatangan Paus. Tentunya visi pun menyertainya. Pertanyaannya, benarkah kedatangan Paus sekadar menguatkan pola kebaikan, kesederhanaan, dan agungnya dia sebagai pemimpin yang cinta damai dan penuh kasih? Ataukah ada misi pembiusan global untuk membuat manusia tak sadar secara politis karena pingsan berkepanjangan?
Bukan Kedatangan Biasa
Jika kita telisik, kunjungan Paus hari ini sejatinya membawa misi perdamaian, pluralisme, dan liberalisme. Tiga misi yang terjebak fakta ambigu yang menghantarkan pada apa sebetulnya yang menjadi tujuan kunjungan. Tujuan yang harus diketahui oleh umat Islam seluruhnya, agar tidak terbius dengan pesona halu yang ditebarkan.
Umat harus menyadari betapa misi Paus telah terkuak senyatanya seperti apa.
Pertama, tentang perdamaian. Bagaimana mungkin misi perdamaian akan terwujud jika secara real saja Vatikan tidak mampu menghentikan kekejaman yang terjadi di dunia, termasuk pembantaian barbar yang dilakukan Israel terhadap Palestina. Kritik terhadap kekejian Zionis Yahudi dan negara-negara Barat yang mendukung pembantaian ini pun tiada. Dusta telah terucap. Berbicara perdamaian, namun tidak ada upaya signifikan untuk menghentikan kebiadaban terhadap umat Islam, khususnya di Palestina.
Kedua, pluralisme. Vatikan mengeklaim dirinya menjunjung pluralisme, namun Vatikan itu negara agama yang tidak membiarkan berkembangnya Islam. Propaganda pluralisme yang ditebar bertolak belakang dengan kenyataan. Adakah masjid di Vatikan? Umat Islam jika sedang di Vatikan dan ingin ibadah ke masjid, mereka pergi mencarinya ke Italia.
Ketiga, liberalisme. Paus Fransiskus resmi mengizinkan Gereja Katolik memberikan berkat terhadap pasangan sesama jenis (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender/LGBT) pada akhir tahun 2023. Sungguh sirine tanda bahaya bagi umat Islam telah berbunyi. Memekakkan telinga hingga tak mampu mendengarkan mana yang baik dan mana yang salah.
Selanjutnya, kita akan mencoba memahami bahwa kunjungan ini pun telah menyeret umat Islam dalam dua keadaan.
Pertama, kekalahan umat. Penyiaran misa secara langsung di seluruh televisi nasional ini tentu menjadi sebuah pertanyaan besar. Umat Kristen secara jumlah merupakan minoritas di Indonesia, tetapi mengapa misa akbar sampai harus disiarkan langsung di seluruh televisi nasional? Sebuah acara yang disiarkan langsung oleh televisi nasional seharusnya adalah acara yang ditonton oleh mayoritas rakyat Indonesia, bukan minoritas. Jika yang menonton adalah minoritas, tentu tidak perlu siarannya demikian masif.
Dengan penyiaran misa akbar yang menabrak waktu salat Magrib sampai harus menggeser tayangan azan di televisi dan pemberitahuan waktu Magrib hanya disampaikan melalui running text, menimbulkan kesan bahwa misa lebih penting dari azan yang merupakan panggilan salat.
Bukankah semestinya sesuatu yang dianggap penting akan diprioritaskan?
Dengan penyiaran misa yang meniadakan tayangan azan, tampak bahwa urusan kaum minoritas lebih penting daripada umat Islam. Urusan umat Islam dinomorduakan dan umat Islam harus menerima kebijakan ini atas nama toleransi. Jika menolak, umat Islam dianggap intoleran dan tidak menghormati umat agama lain.
Meski dituntut selalu mengalah, umat Islam tidak protes. Mereka selalu mengalah demi mencegah terjadinya gesekan antaragama, namun peristiwa di atas telah mengarah pada kekalahan umat yang terus saja merangsek sampai pada ranah mendasar agama.
Kebijakan penyiaran misa ini juga menegaskan betapa sekulernya penguasa negeri ini. Azan sebagai bagian dari syiar Islam diberangus agar bisa digeser ketika ada siaran langsung acara agama tertentu. Siaran langsung itu dianggap lebih penting daripada syiar azan. Ini menunjukkan bahwa penguasa tidak memandang penting syiar azan tersebut. Apakah ini berarti penguasa tidak menganggap penting aktivitas salat?
Yang jelas, pemerintah tidak merasa bertanggung jawab untuk menyeru umat Islam agar melaksanakan kewajiban salat yang salah satu wujudnya adalah melalui penyiaran azan. Pemerintah memandang bahwa salat adalah urusan pribadi rakyat yang muslim sehingga pemberitahuan waktu salat Magrib dianggap cukup dilakukan melalui running text, padahal dampaknya tentu berbeda ketika azan disiarkan dengan tidak disiarkan.
Demikianlah hal ini terjadi ketika sistem di negara kita sekuler. Urusan agama diposisikan sebagai urusan individu dan negara tidak ikut campur mengurusinya. Rakyat melakukan salat atau tidak, dianggap sebagai urusan personal, bukan tanggung jawab negara. Walhasil, polemik azan membukakan mata kita bahwa sebenarnya penguasa, meskipun beragama Islam, tidak pernah membela hak-hak umat Islam. Penguasa bahkan ikut menghapus hak-hak umat Islam. Tragis, kekalahan umat begitu nampak. Mayoritas yang minor bahkan dalam Hal yang asasi, yaitu syari’at.
Kedua, terbius toleransi tak hakiki. Dalam Al Quran jelas, firman Allah Ta’ala dalam QS Al-Fath ayat 29,
مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِۗ وَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًاۖ سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِۗ ذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِۖ وَمَثَلُهُمْ فِى الْاِنْجِيْلِۚ كَزَرْعٍ اَخْرَجَ شَطْـَٔهٗ فَاٰزَرَهٗ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوٰى عَلٰى سُوْقِهٖ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَۗ وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًاࣖ
“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir (yang bersikap memusuhi), tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud (bercahaya). Itu adalah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu makin kuat, lalu menjadi besar dan tumbuh di atas batangnya. Tanaman itu menyenangkan hati orang yang menanamnya. (Keadaan mereka diumpamakan seperti itu) karena Allah hendak membuat marah orang-orang kafir. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Namun apa yang terjadi. Tayangan demi tayangan di media TV, pemberitaan di berbagai media, kedatangan Paus Fransiskus disambut antusias. Di masjid agung milik rakyat Indonesia, Istiqlal, Paus disambut dengan pembacaan Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 62 dan surah Al-Hujurat ayat 13 yang dianggap mengajarkan toleransi.
Mirisnya, Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar yang tentunya dijadikan icon rakyat Konoha sebagai Imam Masjid Indonesia, tampak mencium kening Paus Fransiskus. Bukankah ini merupakan penghormatan yang berlebihan terhadap nonmuslim? Jenis anesthesi apa yang bisa membius seorang muslim sampai bisa tak sadarkan diri sedemikian rupa hingga lupa, atau mungkin pura-pura tak ingat, bahwa seharusnya sikap berkasih sayang itu ditunjukkan kepada sesama muslim, bukan nonmuslim. Karena dasar persaudaraan antarmanusia dalam Islam hanyalah keimanan pada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Firman Allah Ta’ala dalam QS Al-Hujurat ayat 10,
الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَࣖ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.”
Penyambutan yang sangat berlebihan menegaskan posisi inferior para pemimpin negara kita terhadap Paus Fransiskus, padahal jumlah umat Islam besar, namun diposisikan inferior pula. Ditambah lagi para pemimpin melakukan dialog antaragama yang memosisikan Islam sama dengan agama lainnya dan bahkan dengan aliran kepercayaan. Ini benar-benar keterlaluan.
Paus Fransiskus diposisikan sebagai pihak yang lebih tinggi dan mulia sedangkan penguasa muslim bersikap seolah-olah menjadi pelayannya. Paus Fransiskus bahkan dipuja-puji demikian luar biasa seolah-olah orang suci. Paus juga diposisikan sebagai orang yang harus diteladan gaya hidupnya. Alih-alih penguasa menjadi pelayan rakyat yang mayoritas muslim, yang seharusnya menghargai hak yang paling asasi yaitu keyakinan beragama, di mana toleransi bukanlah mengabdikan diri pada agama lain lalu mengabaikan kehormatan kaum muslimin, penguasa telah dibuat pingsan dengan candu kedatangan Paus.
Miris, para penguasa muslim dan ulama yang mengiringinya telah terbius hingga tak sadarkan diri bahwa yang seharusnya dijadikan suri tauladan adalah Rasulullah saw., bukan Paus.
Mereka lupa bahwa Paus tidak membenarkan kenabian Rasulullah Muhammad saw.. Bagaimana mungkin para penguasa yang mengaku muslim mengelu-elukan orang kafir sedemikian rupa, padahal orang kafir tersebut tidak mengesakan Allah Swt. dan tidak mengakui Rasulullah saw..?
Toleransi ala Barat
Perlu diketahui penguatan toleransi memang menjadi agenda kunjungan Paus ke Indonesia. Tergambar jelas dari pidatonya,
“Dan jika benar kalian adalah tuan rumah tambang emas terbesar di dunia, ketahuilah bahwa harta yang paling berharga adalah kemauan agar perbedaan tidak menjadi alasan untuk bertikai, tetapi diselaraskan dalam kerukunan dan rasa saling menghormati. Jangan sia-siakan anugerah ini! Jangan pernah memiskinkan diri kalian dari kekayaan yang besar ini, sebaliknya, kembangkan dan wariskan terutama kepada kaum muda. Semoga tidak ada seorang pun yang terjerumus dalam pesona fundamentalisme dan kekerasan, semoga semua orang justru terpesona oleh impian sebuah masyarakat dan kemanusiaan yang bebas, bersaudara, dan damai!”.
Hal ini menegaskan bahwa Indonesia harus menjaga keberagamaan dengan mengedepankan toleransi dan dialog antaragama. Juga agar Indonesia menjauhi praktik kekerasan dan fundamentalisme.
Paus jelas-jelas telah mengampanyekan toleransi ala Barat yang selama ini selalu dipromosikan kepada umat Islam agar diadopsi. Toleransi yang dihembuskan dari paru-paru moderasi agar umat Islam tidak sempurna dalam menjalankan agamanya namun berbelok menjadi muslim yang moderat, super toleran ala Barat.