Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Mimpi menjadi akuntan memudar sudah untuk Fitriani, murid berprestasi yang diterima di Universitas Riau (Unri). Sejak awal Mei 2024, ia tak lagi berharap bisa kuliah di diploma III jurusan akuntansi kampus tersebut. Angan-angannya hangus setelah datang surat pemberitahuan Unri mengenai uang kuliah tunggal atau UKT yang harus dibayarnya. Jumlahnya Rp 8,5 juta per semester. (Tempo, 26/5/2024).
Demikian juga dengan mimpi Siti Aisyah (mahasiswi baru yang diterima di Universitas Riau (Unri) melalui jalur prestasi) tetapi terpaksa mundur karena tidak sanggup membayar UKT, Aditya Maulana Febry ( ayahnya bekerja sebagai petani penggarap kebun kelapa sawit di Riau yng pendapatan keluarganya hanya Rp3 juta) UKT nya pun bernominal tinggi, juga mimpi-mimpi anak bangsa di negeri ini banyak pula yang kandas sebagaimana yang terjadi pada Fitri, Siti dan Adit.
Miris, di tengah konsep pendidikan adalah hak setiap individu rakyat, naiknya UKT menghadang langkah anak bangsa untuk meraih cita-citanya. Bagi pelajar miskin yang sejatinya berprestasi, mahalnya UKT menjadikan mereka tak bisa melanjutkan studinya di jenjang pendidikan tinggi.
Sekalipun pada akhirnya Mendikbudristek Nadiem Makarim mengumumkan bahwa pemerintah membatalkan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) untuk tahun ini. Di mana Nadiem menyatakan, kementeriannya akan mengevaluasi permintaan peningkatan UKT yang diajukan oleh perguruan tinggi negeri (PTN), seiring itu pun ia mengatakan, kenaikan UKT pada masa depan tetap harus sesuai dengan asas keadilan dan kewajaran. (Kompas, 27/5/2024).
Sayangnya pula, lika liku naiknya UKT tetap menjadi bayangan kelam apalagi saat Presiden Jokowi menyebut ada kemungkinan UKT akan naik tahun depan. Hal itu ia ungkap setelah memanggil Nadiem dan memerintahkannya untuk menghentikan kenaikan UKT tahun ini. Ia ingin kebijakan itu dihitung ulang dan juga ingin Nadiem mencari cara agar tarif UKT tidak memberatkan mahasiswa. (CNN Indonesia, 27/5/2024).
Gambaran ini melukiskan betapa UKT belum berpihak pada kepentingan rakyat. Pembatalan kenaikan UKT tahun ini yang hanya sementara, tak menyentuh masalah pendidikan yang tersolusi. Rakyat belum bisa tersenyum bahagia, karena keputusan UKT belum pada keputusan yang menggembirakan.
Kapitalistik Lahirkan Kebijakan Tak Patut
Salah satu kebijakan yang beraroma kapitalistik di antaranya adalah Permendikbudristek 2/2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbudristek. SSBOPT merupakan dasar pengalokasian APBN untuk PTN dan penetapan biaya kuliah tunggal (BKT) untuk setiap program studi pada jenjang diploma dan sarjana. Sedangkan BKT adalah dasar penetapan tarif UKT untuk setiap program studi di PTN.
Ternyata konsekuensi dari pemberlakuan Permen ini telah dituding menyebabkan akan makin banyaknya calon mahasiswa baru baik yang berprestasi atau tidak terkecuali yang mundur. Bisa dianggap kebijakan inilah biang kerok tingginya UKT.
Saat ini semua keputusan terkait pendidikan tinggi ternyata sangat erat kaitannya dengan cara pandang kapitalistik. Komersialisasi kampus menjadi legal, baik itu melalui UU Dikti (UU 12/2012), pendahulunya yakni UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), maupun berbagai kebijakan turunannya. Seluruh kebijakan yang tak patut terus lahir berturut-turut.