Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Dikutip dari KabarCirebon, pikiranrakyat.com 28 Desember 2024, Rumah Moderasi Beragama (RMB) UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, yang dikenal sebagai Cyber Islamic University (CIU), menegaskan komitmen dalam memperkuat moderasi beragama dengan berpartisipasi dalam Expo Refleksi dan Proyeksi Kemenag 2025. Acara ini berlangsung di Sasono Langen Budoyo, Taman Mini Indonesia Indah, pada Jumat (27/12/2024), dan dihadiri berbagai pemangku kepentingan nasional. Ketua RMB UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, Dr. Mohamad Yahya, M.Hum., menjelaskan bahwa partisipasi RMB pada expo ini bertujuan menampilkan inovasi digital untuk mendukung moderasi beragama.
Melihat perkembangan ini, Islam moderasi semakin kental dilarutkan dalam setiap aktivitas yang diklaim sebagai jalan kemajuan dalam kehidupan beragama. Inovasi digital pun digarap sebagai upaya menguatkan moderasi beragama.
Memang sudah sekian waktu ini pemerintah menjadikan gagasan moderasi beragama sebagai program prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2024. RMB merupakan salah satu gagasan yang dianggap sebagai solusi untuk menyelesaikan persoalan potensi konflik terkait isu agama di berbagai wilayah di Indonesia. Pendirian RMB di berbagai PTKI diklaim sebagai terobosan besar untuk mewujudkan kerukunan beragama.
Namun di tengah geliatnya, sebagai negara yang mayoritas muslim, tentunya tidak bisa menerima begitu saja arus moderasi. Bagi umat Islam apa pun yang akan menggerus keyakinannya terkait keterikatan pada hukum syarak tidak boleh lepas dari ikatan pemikiran yang haq. Alasan absurd mengenai konsep intoleran dalam gaung moderasi beragama sejatinya merupakan perang pemikiran yang membahayakan akidah umat Islam termasuk generasi sekaligus mengaburkan akidah sahih kaum muslim.
Butuh ketajaman berpikir saat menerima sebuah gagasan. Sebuah gagasan bisa dipandang sebagai gagasan ilmiah jika para penggagasnya mampu menghadirkan alasan tepat dan tampak rasional. Dalam pengarusan moderasi beragama, para penggagas konsep ini menganggap bahwa identitas agama menjadi dasar fundamentalisme yang menafikan nilai-nilai kebenaran dari kelompok lain. Untuk menunjukkan kesan urgensitas gagasan moderasi ini, mereka lantas mengatakan bahwa fundamentalisme dan sikap fanatik berlebihan terhadap agama (Islam) akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Pemanfaatan kata “fundamentalisme” yang disandingkan dengan kata “radikal” dimonsterisasi untuk melahirkan ketidaknyamanan penganut agama Islam. Ditambah lagi dengan kondisi umat yang tidak memahami adanya perang pemikiran dari istilah-istilah tersebut membuat mereka berada pada posisi serba salah. Jika teguh bersyariat Islam kafah disebut radikal. Jika melawan arus, disebut fundamentalis. Akhirnya umat memilih bersikap defensif apologetik yang merupakan respons spontan karena tidak memahami hal yang ada di balik konsep dan gagasan yang menyudutkan Islam. Implementasi dari sikap ini terlihat dari cara umat menjawab tuduhan yang salah terhadap Islam dengan cara yang salah. Sebagai contoh, saat sejumlah pembenci Islam menggulirkan opini pemerintahan Islam sebagai pemerintahan keji dan gemar perang. Atas opini ini, seseorang yang bersikap apologetik akan mengatakan bahwa Islam tidak mengajarkan tentang sistem pemerintahan. Sedangkan dalam berbagai kitab klasik dan manuskrip, para ulama jelas mengatakan bahwa Islam mengajarkan sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah. Dengan demikian, ide moderasi ini justru akan mengaburkan sejumlah ajaran Islam yang jelas-jelas ada dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah saw..
Mengentalkan Pluralisme Beragama
Menyedihkan. Moderasi beragama semakin merasuk ruang nyata. Pluralisme beragama menyeruak semakin marak. Moderasi beragama dililit spirit pluralisme yang menganggap semua agama sama.
Perlu diketahui bahwa ide pluralisme terutama pluralisme agama didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan klaim tentang kebenaran yang dianggap sebagai pemicu munculnya ekstremisme, radikalisme agama, perang atas nama agama, serta penindasan yang mengatasnamakan agama. Kaum pluralis menganggap bahwa konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan agama akan sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya paling benar, yang dengan kata lain adalah lenyapnya klaim kebenaran. Ajaran hakiki yang tidak disukai. Padahal sejatinya, ajaran agama memang tidak perlu diseragamkan karena berbeda adalah realitas yang wajar.
Sesungguhnya meski gagasan moderasi tegak di atas berbagai dalih, masalah sebenarnya jika ditelisik lebih dalam adalah adanya hasrat para pembenci Islam untuk melunakkan militansi beragama umat Islam serta mengarahkan mereka untuk memoderatkan ajaran Islam yang sahih dengan ajaran agama lainnya. Generasi muda dan cendekiawan muslim yang telah terjajah hati dan pikirannya dimanfaatkan dan termanfaatkan.
Riil. Di masa lalu dan masa kini kaum kafir penjajah terus saja melancarkan serangan pemikirannya pada umat Islam. Sesuai dengan tabiat yang telah digambarkan dalam Quran. Firman Allah Ta’ala,
وَلَنْ تَرْضٰى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلَا النَّصٰرٰى حَتّٰى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْۗ قُلْ اِنَّ هُدَى اللّٰهِ هُوَ الْهُدٰىۗ وَلَىِٕنِ اتَّبَعْتَ اَهْوَاۤءَهُمْ بَعْدَ الَّذِيْ جَاۤءَكَ مِنَ الْعِلْمِۙ مَا لَكَ مِنَ اللّٰهِ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا نَصِيْرٍ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu (Nabi Muhammad) sehingga engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).” Sungguh, jika engkau mengikuti hawa nafsu mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak ada bagimu pelindung dan penolong dari (azab) Allah.”(QS. Al Baqarah:120).
Sudah seharusnya kajian mendalam dilakukan sesuai syarak agar solusi untuk menghadirkan kerukunan antarumat beragama yang hakiki bukan dengan cara mengaburkan ajaran agama.Pemahaman yang lurus harus diaruskan, agar kedamaian hakiki terealisasi bukan kisruh kehidupan antarumat beragama yang kian keruh. Jika upaya memoderasi Islam muncul dengan alasan karena Indonesia sedang krisis toleransi, sudah urgen kita melihat realitas secara utuh karena Indonesia dengan segala keberagaman di dalamnya, sesungguhnya telah ada sejak dulu. Keberagaman ini tidak pernah terusik, bahkan saat konsep Islam jalan tengah muncul dengan berpijak di atas dalih intoleran. Kerukunan antarumat beragama baik-baik saja. Justru dengan munculnya ide moderasi yang tegak atas dalih intoleran ini kerukunan antarumat beragama terusik. Demikian juga antarumat seagama, saling tuding dan curiga meruncing. Lebih buruk lagi, banyak generasi yang menganggap semua agama sama. Tidak sedikit pula generasi yang bangga memilih agnostic, bahkan ateis karena menganggap konsep ketuhanan yang terintegrasi dalam ajaran agama hanya melahirkan banyak perdebatan yang tidak berkesudahan.
Demikianlah yang terjadi. Sistem sekularisme tidaklah peduli dengan konsep beragama. Agama hanya perkara privat yang keberadaannya diakui di ranah peribadahan saja. Sekularisme yang lahir dari konflik kaum gerejawan dengan para cendekiawan yang kini diterapkan dalam konstitusi yang melahirkan sekularisme negara yang diusung negara Barat, telah menunjukkan kekhawatiran mereka terhadap Islam yang ajarannya paripurna hingga dalam tataran kenegaraan.
Barat terus berupaya mematikan pemahaman generasi muslim mengenai Islam kafah termasuk dalam perkara pemerintahan. Kebangkitan umat Islam yang kian bergejolak membuat Barat makin giat membajak pemahaman umat melalui sejumlah kampanye global mulai dari War on Terorism hingga kampanye deradikalisasi.