Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Demikian yang terjadi pada warga Kabupaten Sukabumi yang menjadi korban penipuan terkait ketenagakerjaan.
Sebanyak 11 orang warga Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Myawaddy, Myanmar. Pelaku disebut meminta uang tebusan Rp550 juta untuk membebaskan korban. Ketua DPC Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Sukabumi, Jejen Nurjanah, mengatakan jaringan TPPO tersebut menyekap 11 korban. “Jaringan TPPO meminta tebusan Rp50 juta per orang sehingga totalnya Rp550 juta untuk mempercepat proses pembebasan 11 warga Kabupaten Sukabumi yang disekap mereka,” kata Jejen di Sukabumi, dikutip dari Antara, Minggu (15-09-2024).
Video viral yang menggambarkan kondisi mereka saat disekap selama dua minggu lebih di Myanmar, tepatnya di Myawaddy, menunjukkan betapa tidak terlindunginya keselamatan hidup mereka. Dalam video berdurasi dua menit, 11 WNI yang di antaranya dari Sukabumi, Jawa Barat, disekap dan mendapat perlakuan kasar. Mereka hanya diberi makan sehari sekali. Mereka sangat mengharapkan bantuan untuk segera bisa kembali ke Indonesia.
Mirisnya lagi isu keterlibatan aparat mengiringi kasus ini. Sejalan dengan isu, adanya pernyataan anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Dave Laksono yang menduga bisa jadi ada keterlibatan aparat tertentu. Ia menegaskan, sindikat semacam ini harus dibongkar jaringannya sampai ke akar. Terlebih, menurutnya, kejadian semacam ini terus berulang. Ia menilai pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan edukasi dan pembelaan terhadap para WNI korban TPPO di Myanmar tersebut.
Kapitalisme Membuat Hidup Kian Terasa Pahit
Kita hanyalah manusia yang terluka
Terbiasa ‘tuk pura-pura tertawa
Namun, bolehkah s’kali saja ku menangis? Ku tak ingin lagi membohongi diri
Lirik lagu “Runtuh” ini seakan menggambarkan betapa runtuhnya nasib rakyat yang harus berpura-pura tertawa padahal riil-nya mereka sangat menderita. Untuk hidup saja mereka rela korbankan diri hanya untuk iming materi.
Berbagai alasan ekonomi berupa iming-iming upah tinggi di luar negeri menjadi faktor yang masuk akal bagi para korban TPPO di tengah kesulitan hidup mereka menghadapi kenyataan PHK dan himpitan ekonomi di negeri sendiri. Kebingungan menyertai saat mereka harus tetap mencari pekerjaan untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Berbagai aspek kehidupan sudah sangat membelit hingga nalar pun sulit diajak lagi berpikir sehat dan tepat.
Karut-marut ekonomi nasional mewujud dalam berbagai hal. Adanya inflasi pangan, kelangkaan gas elpiji bersubsidi, rencana pencabutan subsidi BBM, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, bahkan harga kuota internet yang merangkak naik, pada saat yang sama juga beragam jenis pajak, potongan, maupun pungutan menghantui gaji para pekerja yang jumlah pokoknya sendiri tidak seberapa, menjadikan hidup rakyat kian sempit.
Seiring dengan kenyataan di atas godaan visual melalui aplikasi di ponsel pintar, baik itu berupa belanja daring di marketplace, game online, serta judol dan pinjol, pun mengiringi gaya hidup rakyat. Hidup sulit namun gaya hidup sekuler meracuni masyarakat dengan hedonisme dan konsumerisme. Kantong sekarat namun menguras kantong terus saja dilakukan dalam kehidupan masyarakat dengan berbagai cara. Dengan demikian seluruh warna hidup ini sudah sangat terpoles dengan cat kapitalisme yang begitu pekat.
Terkait ini akhirnya kita tidak bisa menyalahkan para korban sepenuhnya. Saat di dalam negeri kesulitan hidup sangat tinggi, ketika para korban itu mengadu nasib ke luar negeri demi mengharapkan gaji tinggi walau ternyata kondisinya tidak lebih baik, bahkan mereka harus menerima berbagai perlakuan yang tidak manusiawi dari majikannya, faktor ekonomi lah yang telah membuat mereka rela hidup seperti itu. Secuil arus deras kapitalisme secara sistemis telah menyebabkan berbagai dampak buruk bagi rakyat secara jahat.
Untuk itu, negara seharusnya tidak hanya mengevakuasi para korban agar bisa kembali ke Tanah Air. Namun, negara harus mewujudkan solusi sistemis agar ketika para korban TPPO berhasil dipulangkan mereka tidak dihadapkan pada persoalan yang sama yaitu pengangguran, yang akhirnya mereka akan mengulang hal yang sama, tertipu jaringan TPPO.
Negara tidak boleh lepas tangan untuk mengurus berbagai hajat publik di dalam negeri. Negara harus mengambil langkah strategis untuk menyolusi kasus TPPO secara tuntas. Negara harus membelikan jaminan politik dan ekonomi bagi para korbannya saat sudah kembali.
Negara juga harus berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas, bukan malah menjadikan para pekerja migran sebagai pahlawan devisa yang posisi mereka hanya dimanfaatkan berdasarkan produktivitas ekonomi.
Pengentasan kemiskinan, pelayanan penuh dari negara di sektor-sektor publik, penyediaan lapangan pekerjaan yang memadai, mengatur perdagangan luar negeri agar tidak merugikan industri dalam negeri, juga pengambilalihan tata kelola sektor tambang migas dan minerba dari swasta harus juga diperhatikan oleh negara.
Edukasi pada masyarakat melalui sistem pendidikan dalam berbagai format, baik itu formal maupun nonformal harus diperhatikan juga dalam rangka mencetak SDM yang memiliki beragam keahlian dan kepakaran agar berguna untuk menyelesaikan persoalan-persoalan teknis dalam kehidupan. Dengan begitu, negara tidak melulu mengandalkan investasi swasta maupun asing untuk bisa mengembangkan berbagai sektor strategis di dalam negeri.