By : Hesti Muharani
Akses dan pelayanan kesehatan yang baik merupakan salah satu hak dasar bagi setiap manusia. Masyarakat berhak memperoleh akses pencegahan dan pengobatan suatu gangguan/penyakit dalam dirinya, baik dengan cara mengobati secara mandiri, rawat jalan, dan rawat inap.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 menunjukkan bahwa 80% masyarakat Indonesia melakukan pengobatan sendiri (swamedikasi) selama sebulan terakhir. Kalimantan Selatan merupakan provinsi dengan persentase tertinggi, mencapai 89%. Persentase masyarakat yang melakukan swamedikasi ternyata menurun dalam 3 tahun terakhir. Pada 2021, masyarakat yang melakukan swamedikasi tercatat sebesar 84,23%, sedikit naik di 2022 menjadi 84,34%. Namun pada 2023, jumlahnya menurun menjadi 79%.
Swamedikasi dapat diartikan sebagai upaya pengobatan mandiri. Saat terkena gejala penyakit, seseorang dapat membuat keputusan untuk merawat dan mengobati gangguan kesehatannya tanpa konsultasi langsung dengan tenaga medis professional.
Seseorang yang melakukan swamedikasi biasanya mengandalkan obat bebas dan obat herba. Obat bebas dapat diperoleh di apotek tanpa memerlukan resep dokter khusus. Obat bebas ditandai dengan label hijau dengan lingkaran hitam. Obat-obat seperti ini memudahkan seseorang untuk melakukan pengobatan mandiri.
Ada beberapa alasan yang membuat seseorang melakukan swamedikasi. Aksesibilitas ke apotek yang mudah, keterbatasan waktu untuk berkunjung ke rumah sakit, hingga biaya konsultasi yang dianggap mahal menjadi beberapa alasan utama. Selain hal tersebut, banyak lagi problem permasalahan kesehatan yang terjadi di masyarakat, yakni tidak semua masyarakat dapat mengakses layanan kesehatan.