Opini

Jaminan Kesehatan Hanya Terwujud dalam Kepemimpinan Islam

100
×

Jaminan Kesehatan Hanya Terwujud dalam Kepemimpinan Islam

Sebarkan artikel ini

Oleh Ummu Kholda
Pegiat Literasi

Kesehatan merupakan kebutuhan penting yang didambakan manusia. Manusia berhak untuk hidup sehat dengan terjaminnya akses pelayanan kesehatan yang berkualitas tanpa biaya, serta informasi yang lengkap. Namun hal demikian sulit terwujud saat ini, mengingat berbagai permasalahan terkait kesehatan masih tak kunjung terselesaikan. Mulai dari fasilitas, kualitas obat-obatan, pembagian kelas pelayanan, harga yang dikeluarkan pasien hingga ketidakmerataan tenaga kesehatan (nakes) di sejumlah daerah yang salah satunya di Kalimantan Tengah.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), Suyuti Syamsul, kebutuhan dokter saat ini masih banyak. Apabila mengikuti rasio baru, setiap seribu penduduk diperlukan satu orang dokter, maka dengan jumlah penduduk Kalteng sekitar 2,7 juta jiwa, diperlukan sekitar 2.700 orang dokter. Sedangkan jumlah dokter yang ada saat ini hanya 800 orang, sehingga masih dibutuhkan 1.900 dokter lagi untuk mencapai ideal.

Di sisi lain, Pengamat Tenaga Kesehatan yang juga Wakil Ketua Komisi III DPRD Kalteng periode 2019-2024, Siswandi, mengatakan permasalahan tidak meratanya penyebaran nakes ini masih menjadi permasalahan yang tidak pernah terselesaikan, karena kebanyakan mereka terkonsentrasi hanya di perkotaan. Hal ini seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah provinsi. Selain jumlah nakes yang terbatas, masalah pemerataan nakes juga masih menjadi kendala yang kerap terjadi, terutama bagi warga yang tinggal di pelosok. (RRI.co.id, 1/10/2024)

Tidak hanya ketidakmerataan jumlah nakes, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan juga mengalami masalah alias tekor. Meski iuran dinaikkan 10% pun tidak akan cukup dan tetap defisit. Menurut Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizky Anugerah, rasio beban jaminan kesehatan terhadap penerimaan iuran BPJS sampai Oktober 2024 mencapai 109,62%. Artinya beban yang dibayarkan lebih tinggi dari penerimaan atau iuran yang didapat. Tercatat penerimaan iuran BPJS Kesehatan sebesar RP133,45 triliun, sedangkan beban jaminan kesehatan mencapai Rp146, 28 triliun.

Untuk mengatasi hal tersebut langkah yang akan ditempuh pemerintah adalah dengan melakukan penyesuaian manfaat, tarif pelayanan, dan besaran iuran BPJS. Meski masih dalam proses pembahasan oleh lintas kementerian dan lembaga bersama BPJS, pemerintah berharap solusi tersebut dapat segera diberlakukan paling lambat 1 Juli 2025. Sebab kenaikan iuran BPJS secara berkala telah diamanatkan dalam regulasi melalui Perpres 59/2024. Namun, apakah dengan kenaikan iuran dapat memperbaiki layanan kesehatan ataukah malah semakin membebani rakyat. (Bisnis.com, 7/12/2024)

Negara Abai, Jaminan Kesehatan Hanyalah Semu

Berbagai macam problem kesehatan yang terjadi seolah menggambarkan abainya pemerintah dalam menjamin kesehatan rakyatnya. Fungsi negara sebagai pengurus rakyat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Rakyat yang sudah kesulitan secara ekonomi masih harus membayar mahal ketika ada anggota keluarganya yang sakit. Belum lagi harus membayar biaya-biaya lainnya, seperti kebutuhan pendidikan dan menghadapi harga-harga kebutuhan pokok yang kian merangkak naik. Semua itu mau tidak mau harus dipenuhi oleh penanggung jawab keluarga, di saat negara menutup mata dengan kesulitan rakyat.

Semua itu terjadi akibat dari paradigma kapitalisme sekuler terhadap kesehatan. Kesehatan dalam pandangan kapitalisme tak ubahnya komoditas bisnis, sehingga para kapitalis (pemilik modal) akan berlomba-lomba menyediakannya dengan harga yang mahal demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Sementara dari sisi penguasa atau negara, ia hanya menjalankan perannya sebagai regulator dan fasilitator para kapital dan memberikan keleluasaan bagi mereka untuk meraup cuan. Negara tak perlu bertanggung jawab atas urusan rakyat, apakah setiap rakyat dapat mengakses kesehatan atau tidak. Termasuk dengan keberadaan BPJS Kesehatan. Lembaga non pemerintah ini dianggap masyarakat sebagai bentuk kepedulian negara terhadap kesehatan padahal ini merupakan bentuk lain dari komersialisasi kesehatan yang diinisiasi pihak swasta untuk mengambil alih tanggung jawab negara dalam hal pelayanan kesehatan. Meski namanya Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan, sejatinya bukan jaminan tetapi asuransi kesehatan sebab untuk mengakses layanan, rakyat dipaksa menjadi anggota BPJS, membayar iuran rutin dengan kebijakan yang terus berubah setiap saat. Siapa yang diuntungkan? Tentu pihak penyelenggara dan pemerintah yang memberi izin.

Inilah kepemimpinan kapitalisme sekuler yang hanya berputar pada materi dan keuntungan. Negara tidak benar-benar mengurusi rakyatnya, tetapi membiarkan pihak swasta untuk turut serta mengambil alih tanggung jawabnya secara komersil karena pada kenyataannya rakyatlah yang membiayai dirinya sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *