Opini

Jabar Terang, Janji Gubernur Terpilih, Bisakah Terwujud?

111
×

Jabar Terang, Janji Gubernur Terpilih, Bisakah Terwujud?

Sebarkan artikel ini

Oleh Neneng Sriwidianti
Pegiat Literasi

Calon gubernur (cagub) Jawa Barat nomor urut 4 Dedi Mulyadi, memberikan janji kampanyenya, jika ia memenangi Pilkada Jabar 2024, maka 22.000 kepala keluarga (KK) akan teraliri listrik. Hal tersebut, ia sampaikan saat menanggapi pertanyaan panelis dalam debat Pilkada Sabtu (23/11/2024), tentang program Jabar Caang (Terang). Meski sudah gencar disosialisasikan, tetapi hingga kini belum terealisasi. Menurutnya, ia mempunyai pengalaman membuat seluruh warga bisa teraliri listrik. Caranya manfaatkan kebijakan fiskal. Dedi juga menargetkan dua tahun pemerintahannya seluruh warga Jabar bisa merasakan aliran listrik. (beritasatu.com, 23/11/2024)

Adapun daerah-daerah yang belum teraliri listrik adalah: Kabupaten Cianjur sebanyak 5.592 rumah, Kabupaten Garut 4.737 rumah, Kabupaten Bogor 2.580 rumah, Kabupaten Bandung Barat 1.992 rumah, Kabupaten Sukabumi 1.703 rumah sedangkan Desa Sasagaran Sukabumi ada 200 rumah yang belum teraliri listrik. Begitu juga di Desa Mandalasari Kecamatan Puspahiang, Tasikmalaya, belum teraliri listrik dengan baik. Kecamatan Ibun juga masih ada warga yang belum mendapatkan sambungan energi listrik.

Janji Hanya Mimpi dalam Kapitalisme

Pertanyaannya, bisakah janji gubernur terpilih ini terwujud? Ataukah rakyat harus kembali menelan kekecewaan? Padahal, listrik adalah kebutuhan asasi yang seharusnya dipenuhi oleh negara dan hak rakyat untuk mendapatkannya dengan harga yang murah. Namun, hal ini tidak bisa terwujud karena adanya liberalisasi tata kelola. Dalam sistem kapitalisme demokrasi, listrik sering kali menjadi barang yang mahal dan sulit dijangkau oleh sebagian rakyat karena beberapa faktor yang saling terkait:

Pertama, privatisasi dan keuntungan perusahaan. Dalam sistem kapitalisme, banyak sektor penting, termasuk energi dan listrik, sering kali dikelola oleh perusahaan swasta. Perusahaan-perusahaan ini berorientasi pada keuntungan, yang mendorong mereka untuk menaikkan harga untuk mencapai laba maksimal. Jika penyediaan listrik dikelola oleh perusahaan swasta, mereka lebih fokus pada margin keuntungan daripada memastikan aksesibilitas harga yang wajar bagi semua lapisan masyarakat.

Kedua, keterbatasan infrastruktur. Penyediaan listrik memerlukan investasi besar dalam infrastruktur, seperti pembangkit listrik, jaringan distribusi, dan pemeliharaannya. Dalam sistem kapitalisme, pembiayaan infrastruktur sering kali bergantung pada sektor swasta yang cenderung menghindari daerah-daerah dengan tingkat permintaan rendah atau sulit dijangkau karena dianggap tidak menguntungkan. Akibatnya, beberapa daerah atau kelompok masyarakat mungkin mengalami kesulitan dalam mengakses listrik dengan harga yang terjangkau.

Ketiga, pengaruh kebijakan pemerintah. Meskipun dalam sistem demokrasi pemerintah dapat berperan dalam pengaturan harga dan kebijakan energi, kebijakan tersebut sering dipengaruhi oleh kepentingan politik atau ekonomi yang lebih besar, seperti lobi perusahaan besar atau kebutuhan untuk menarik investasi asing. Kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan kapitalis ini bisa mengarah pada penetapan tarif listrik yang tinggi, atau pengurangan subsidi energi yang dapat menguntungkan rakyat kecil.

Keempat, keterbatasan subsidi energi. Sudah menjadi rahasia umum, di negeri ini, subsidi untuk energi sering kali dikurangi atau dihapuskan, terutama ketika negara menghadapi krisis fiskal atau tekanan pasar global. Tanpa subsidi, harga listrik bisa melambung tinggi, dan ini membebani rakyat, terutama kalangan yang kurang mampu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *