Oleh Bunda Dee
Member Akademi Menulis Kreatif
Tingginya jumlah pengangguran di Indonesia merupakan permasalahan klasik yang terus berulang Hal ini terjadi karena adanya ketimpangan antara jumlah pencari kerja yang jauh lebih banyak dibanding dengan lowongan kerja yang tersedia. Per Februari 2023 saja terdapat 7,99 juta pengangguran di Indonesia.
Walaupun ditahun 2024 jumlahnya menurun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), yakni sekitar 7,2 juta orang, namun angka tersebut masih dinilai tinggi, karena orang terkatagori setengah menganggur sebanyak 12,11 juta orang. (Kompas.com 4/7/2024).
Melihat fakta itu pemerintah tidak tinggal diam. Berbagai cara dilakukan guna mengentaskan problematika yang ada. Hal yang dilakukan yaitu terus mengadakan pelatihan-pelatihan untuk menekan pengangguran. Terutama lulusan pendidikan SMK dan SMA yang disinyalir mendominasi angka pengangguran tertinggi di negeri ini. Maka dibuatlah pelatihan vokasi yakni program pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi yang bertujuan untuk mempersiapkan tenaga yang dapat menetapkan keahlian dan ketrampilan di bidangnya, siap kerja dan mampu bersaing secara global.
Tidak hanya itu, yang terbaru dilakukan pemerintah khususnya kabupaten Bandung adalah membuka rekrutmen calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Jumlah yang disediakan cukup besar yaitu 300 formasi disediakan bagi pelamar baru atau tenaga honorer. (KlikPendidikan.id, 25/8/2024)
Jika kita analisa lebih dalam, solusi pemerintah menggencarkan pelatihan vokasi untuk menekan pengangguran dianggap klise dan tidak akan mampu menyelesaikan masalah pengangguran. Alasannya, selain karena pemborosan dana, program ini tidak menuai hasil. Malah menjadikan anak SMK menjadi warga terbanyak menganggur. Tidak berbeda dengan perekrutan CPNS karena sarat dengan kecurangan dan adanya orang dalam, sehingga ada perlakuan tidak adil bagi para pelamar kerja.
Kesenjangan terjadi karena sistem yang diterapkan saat ini yaitu kapitalisme. Buruknya kapitalisme terealisasi pada: Pertama, sistem ini fokus kepada keuntungan pemilik modal. Sebuah perusahaan akan terus menekan biaya produksi agar mencapai keuntungan yang maksimal, hal yang paling mudah untuk ditekan adalah upah pekerja. Dimana upah rendah dan PHK disebut sebagai bentuk efisiensi perusahaan. Inilah yang akhirnya makin mengurangi jumlah lowongan kerja.
Kedua, persaingan bebas antar perusahaan akan menciptakan kondisi “saling caplok.” Perusahaan yang memiliki modal besar akan menguasai perusahaan kecil sehingga dunia usaha hanya dikuasai oleh segelintir orang. Pengusaha kecil yang diakuisisi akhirnya antri menjadi pekerja.
Ketiga, disfungsi negara sebagai pengurus. Sistem ini menyerahkan seluruh urusan umat pada swasta termasuk lapangan pekerjaan. Sehingga kebijakan untuk menyerap tenaga kerja fokus pada satu perusahaan. Contohnya, saat pemulihan ekonomi pasca-Pandemi Covid-19, pemerintah lebih banyak menggelontorkan dana kepada perusahaan besar dengan alasan agar perusahaan tersebut mampu bertahan dan tidak mem-PHK karyawannya ketimbang menggelontorkan bantuan untuk rakyat yang membutuhkan modal usaha.
Seharusnya negara lebih fokus dalam mengentaskan masalah tuna karya ini. Dengan menyiapkan lapangan kerja yang memadai dan layak bagi warga negaranya. Mengambil alih pengelolaan SDA dari asing atau swasta sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja. Namun ini semua tinggal harapan karena dalam sistem kapitalisme negara hanya berfungsi sebagai regulator bukan lagi sebagai pengurus umat.
Berbeda dengan sistem Islam, dimana pemimpin atau negara menempatkan diri sebagai pengurus dan penjaga rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasullah saw. yang artinya: