Oleh : Delvia
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat. Tercatat pada awal tahun 2024 terdapat 240 kasus terlapor soal kasus kekerasan perempuan dan anak di Samarinda. Hal ini menyita perhatian Deni Hakim Anwar selaku Anggota DPRD Samarinda akibat tingginya angka kekerasan tersebut berdasarkan data dari Disdikbud (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan) Samarinda.
Sektetaris Komisi IV DPRD Saamarinda tersebut juga menegaskan bahwa kurangnya inisiatif preventif (pencegahan) menjadi penyebab lonjakan kasus tersebut. “Fokus harus bergeser dari penindakan ke pencegahan,” ungkap Deni pada Kamis (11/07/2024).
Sungguh miris perempuan dan anak yang harusnya dilindungi justru saat ini sebaliknya. Kekerasan yang mereka dapatkan terus bertambah. Jika dilihat dari angka yang tercatat di Disdikbud lumayan tinggi, belum lagi kasus yang tidak dilaporkan. Tentu angka ini akan semakin bertambah.
Melihat fenomena ini, tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tentu ada penyebabnya, ibaratnya tidak ada asap kalau tidak ada api. Kekerasan ini terjadi karena ada beberapa hal, contohnya masalah ekonomi keluarga. Kondisi ekonomi yang semakin sulit membuat orang tertekan. Apalagi kalau sudah terlibat pinjol atau hutang riba, hidup menjadi tidak tenang dan terasa sulit sehingga memicu seseorang melakukan tindakan kekerasan, tidak hanya penyiksaan bahkan pembunuhan.
Selain itu, perselingkuhan atau kecemburuan yang berlebihan kepada pasangan, masalah seksual, pengaruh minuman keras/ alkohol, PHK atau pengangguran, obat-obat terlarang, karier istri lebih bagus dari suami, hamil di luar nikah dan sebagainya juga merupakan pemicu terjadinya tindakan kekerasan.
Kapitalisme Akar Masalah
Sebagaimana kita ketahui sulitnya ekonomi, susahnya mencari kerja, mahalnya biaya hidup, kesehatan dan pendidikan disebabkan diterapkannya sistem kapitalisme sekuler. Sebuah sistem buatan manusia yang memisahkan agama dari kehidupan sehingga menghasilkan hukum dan aturan sesuai kepentingan segelintir orang. Walhasil kebijakan-kebijakan yang dihasilkan hanya untuk kepentingan para pemilik modal.
Selain itu, sistem ini membuat negara kehilangan perannya sebagai ra’in bagi rakyatnya, justru sebaliknya negara sebagai regulator untuk kepentingan para pemilik modal. Bagi mereka yang kuat makin kuat sementara yang lemah makin lemah. Rakyat dipaksa untuk menghidupi negara dengan pajaknya yang semakin hari semakin naik, subsidi dihilangkan, pendidikan dan kesehatan mahal, standar upah rendah dan lain-lain. Tentu ini makin membuat makin beratnya beban hidup masyarakat, sehingga menjadi pemicu tindakan kekerasan.