Oleh Narti Hs
Ibu Rumah Tangga dan Pemerhati Generasi
Masa Pengenalan Sekolah (MPLS), biasanya selalu ramai dan penuh gegap gempita. Namun, hal tersebut tidak nampak di SDN Cikapundung 1, Desa Cipanjalu, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung. Sejak hari pertama, sekolah terlihat sepi tanpa ada keramaian berarti.
Berada di wilayah perbukitan yang cukup sulit, menjadikan SDN Cikapundung 1 termasuk sekolah yang kurang diminati. Sekolah ini secara total hanya memiliki 62 siswa, dan tahun ini hanya 15 orang saja yang mendaftar. Sayangnya, dari jumlah yang minim tersebut, faktanya tidak semuanya memiliki buku pelajaran, meskipun pengadaannya telah diupayakan. Selain itu, biaya operasional yang diterima hanya sedikit sehingga harus pintar menggunakannya. Belum lagi masalah infrastruktur pendukung, seperti jalan yang masih jauh dari kata bagus dan layak. (Ayobandung.com, 16/7/2024)
Fakta tersebut membuktikan lalainya penguasa memperhatikan keberlangsungan pendidikan secara merata. Para orangtua tentu saja menghendaki putra putrinya belajar di sekolah yang lengkap sarana dan prasarananya, disamping sarana pendukungnya agar dapat belajar maksimal. Fakta tersebut sepertinya bukan hanya terjadi di SDN Cikapundung saja, masih banyak sekolah di pelosok tidak jauh berbeda nasibnya. Menuju sekolah ada yang harus melewati jembatan yang sudah rusak, bergelantungan menyebrang sungai, melewati jalan becek, karena tidak ada akses jalan yang mempermudah menuju sekolah. Hal itu terjadi bertahun-tahun seolah dibiarkan tak tersolusikan. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur di kota-kota besar terus berlangsung.
Selain itu buku pelajaran yang minim akan menghambat penyerapan ilmu pengetahuan, namun sayang itulah kenyataannya. Tidak jarang bangunan sekolah didapati sudah lapuk tanpa ada perbaikan.
Sungguh miris, betapa jurang pembeda antara sekolah pavorit yang serba lengkap dengan seluruh sarana pendukungnya dibandingkan dengan sekolah yang serba minim. Begitupun kondisi antara sekolah yang ada di kota dengan di desa. Mau tidak mau, yang namanya pendidikan agar berlangsung maksimal haruslah juga didukung sarana prasarana, bukan seadanya. Lantas apa yang menjadi penyebabnya?
Inilah sejatinya kondisi ketika sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini terlanjur mengadopsi paham batil kapitalisme sekular. Kapitalisme yang menitikberatkan pada keuntungan bukan kepengurusan, menjadikan negara tidak mampu menciptakan pendidikan merata bagi seluruh warga. Akibat kapitalisasi pendidikan bagi yang berduit bisa mencicipi sekolah yang serba lengkap, sementara yang tidak berduit harus puas bersekolah dengan fasilitas seadanya. Negara menyediakan anggaran untuk pendidikan sangat minim, sehingga sulit memenuhi segala kekurangan yang ada. Kalaulah negara ini memandang penting membentuk generasi penerus, tentu akan serius mengelola pendidikan. Biaya pendidikan yang mahal mencirikan bahwa sistem pendidikan di negeri ini bak industri yang harus menghasilkan keuntungan.