Oleh Nuni Toid
Pegiat Literasi
Dua pasang bakal calon bupati dan wakil bupati Bandung, Dadang Supriatna-Ali Syakieb dan Sahrul Gunawan-Gun Gun Gunawan resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bandung. Kedua pasangan ini mendaftar di hari terakhir pendaftaran. Pasangan Dadang-Ali mendaftar pukul 16.00 WIB, sedangkan Sahrul-Gun Gun mendaftar jam 20.00 WIB. Baik Dadang maupun Sahrul merupakan calon petahana. yang saat ini menjabat sebagai bupati dan wakil bupati hasil pilkada Kabupaten Bandung 2020. Dadang-Ali menamakan koalisinya Bedas: Jilid dua atau jargon yang sama seperti pilkada sebelumnya. Koalisi ini diperkuat 13 partai. Enam di antaranya partai parlemen yaitu PKB, Nasdem, Demokrat, PAN, Gerindra, dan PDI Perjuangan. Sedangkan delapan non parlemen, yakni PSI, PBB, Perinda, PKN, partai Buruh, partai Garuda, dan Gelora.
Adapun Sahrul-Gun Gun yang juga calon petahana pada pilkada kali ini diusung Garuda, Golkar, PKS, partai parlemen, Hanura, PPP, partai Ummat, partai Garuda, serta partai nonparlemen. Kedua pasangan ini bakal memperebutkan 2.100.000 suara sah hasil rekap KPU Kab Bandung (kompas.com, 30/8/24)
Melihat fakta di atas, sebenarnya fenomena artis masuk bursa pilkada bukan hal yang baru. Sejak awal reformasi artis-artis sudah masuk dalam pencalonan kepala daerah, misalnya Rano Karno. Dalam sistem saat ini siapapun bisa mencalonkan diri selama memenuhi syarat dalam undang-undang. Yang menjadi pertanyaan, akankah membawa perubahan yang bermakna bagi kesejahteraan rakyat?
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komaruddin menyatakan bahwa fenomena nyaleg para artis merupakan simbiosis mutualisme. Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai kalau berbondong-bondongnya para pesohor itu dimanfaatkan untuk mendulang suara. Ia pun menambahkan, sisi lain dari fenomena tersebut adalah gagalnya parpol dalam melakukan kaderisasi. Mereka tidak percaya diri dengan kader yang dibina selama ini sehingga memilih melamar artis untuk mencari simpati publik. Meskipun para artis tersebut kebanyakan awam serta minim pengetahuan dan pengalaman dalam berpolitik.
Maka, dapat disimpulkan bahwa digaetnya artis ke ranah politik tidak lain untuk meraih suara rakyat. Walau kemungkinan di antara mereka memiliki kemampuan berpolitik, tetapi ketika berhasil duduk di kursi kemenangan, nyatanya tak membawa perubahan yang signifikan bagi warga. Ini wajar terjadi setiap orang memiliki kepentingan. Begitupun dengan partai politik akan melakukan cara untuk mendapatkan suara agar dapat menduduki ‘kursi panas’ syukur-syukur menjadi pemenang hingga bisa menyetir kebijakan. Maka wajar kiranya jika ada yang menafsirkan bahwa kepentingan yang ada para parpol adalah sebatas materi, kesenangan dunia, kehormatan, gaji besar, fasilitas mewah, dan lain sebagainya.
Itulah fenomena yang terjadi dalam sistem demokrasi. Siapapun dapat menjadi calon kepala daerah, walaupun tidak memiliki kemampuan. Cukup modal terkenal, dan berduit. Bahkan untuk masuk anggota parpol pun cukup dengan mendaftar tidak ada kualifikasi tertentu yang harus mereka penuhi.
Begitulah dalam sistem kapitalisme-demokrasi, kekuasaan pemerintah tidak hanya di tangan penguasa, tapi dikendalikan oleh oligarki. Sedangkan para artis hanyalah sebagai pemanis saja hanya sekadar menjembatani untuk meraih kemenangan belaka.
Berbeda dengan Islam yang bukan hanya sekadar agama tetapi juga adalah ideologi yang memiliki sistem kehidupan secara menyeluruh. Islam melihat bahwa politik bukan hanya masalah kekuasaan, melainkan soal mengurusi urusan umat.
Dalam Islam, seorang pemimpin harus memenuhi tujuh syarat, di antaranya muslim, merdeka, baligh, berakal, adil, dan mampu mengemban jabatan. Jadi bukan seperti dalam sistem demokrasi yang hanya mengandalkan kepopuleran semata. Karena dalam memegang kepemimpinan adalah menjunjung tinggi amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt.