Oleh : Raodah Fitriah, S.P
Indonesia mengalami kerugian sebanyak Rp 551 triliun per tahun karena banyaknya makanan sisa yang terbuang. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengungkapkan, Indonesia selalu kehilangan nilai ekonomi karena sisa makanan terbuang (food loss and food waste) (suara.com, 03/07/2024).
Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, di samping sandang dan papan. Jika tidak terpenuhi maka sama saja bunuh diri. Seiring berkembangnya teknologi, budaya makan atau kuliner menjadi _lifestyle_ yang mencerminkan status sosial suatu masyarakat bahkan menjadi bahan pamer di sosial media.
Ini membuktikan telah terjadi perubahan makna makanan itu sendiri. Tidak lagi menjadi kebutuhan pokok melainkan penunjang gaya hidup dan eksistensi. Bukan hanya memenuhi kebutuhan melainkan memenuhi keinginan untuk mencapai kepuasan. Didukung oleh pendapatan, semakin tinggi pendapatan semakin tinggi pula permintaan atau daya beli. Tanpa memperhatikan aspek-aspek lain seperti lingkungan sosial yakni sampah makanan.
Manusia Hanya Menjadi Korban di Sistem Kapitalisme
FAO (Food and Agriculture Organization) merupakan organisasi pangan dan pertanian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tujuan utamanya adalah memberantas kelaparan, kerawanan pangan dan malnutrisi. Menurut FAO, _food loss_ adalah hilangnya sejumlah pangan antara rantai pasok, produsen dan pasar yang terjadi sebagai akibat proses setelah panen. Sehingga pangan yang tidak sesuai mutu atau tidak layak pasar akan dibuang. Sementara itu, _food waste_ adalah pangan yang layak makan yang mengalami pembuangan karena adanya kelalaian ketika proses produksi, pengolahan dan distribusi.
Dengan adanya peningkatan sampah makanan (food waste), fakta ini cukup menjelaskan bahwa masyarakat hari ini adalah masyarakat yang konsumtif. Ternyata 1/3 dari makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi manusia dibuang seperti sampah. Dilihat dari jumlah yang mencapai 1,3 miliar ton setiap tahunnya, maka ini adalah angka yang fantastis. Di negara maju nilai makanan yang terbuang diperkirakan sejumlah 680 miliar dolar AS dan di negara berkembang sebesar 310 miliar dolar AS. Berarti sebagian pendapatan masyarakat berakhir di tempat sampah. Hal ini bertolak belakang dengan fakta kelaparan yang menimpa 795 juta manusia di dunia. Padahal total sampah yang dihasilkan setiap tahunnya sebenarnya bisa menghidupi 2 miliar orang.
Dilansir dari World Resource Institute (WRI), emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sampah makanan menyumbang 8% dari emisi global. Jika diibaratkan sebagai negara, limbah sampah makanan menjadi penghasil GRK terbesar ketiga tepat di belakang Tiongkok dan AS. Sebagian gas yang dihasilkan adalah gas metana yang memiliki potensi 25 kali lebih tinggi dibanding karbondioksida dalam meningkatkan pemanasan global.
Pada tahun 2020, Indonesia sudah memasuki sinyal darurat sampah makanan. Bahkan pada tahun 2019, Indonesia merupakan penghasil sampah makanan terbesar nomor 2 di dunia setelah Saudi Arabia. Pada tahun 2021, sistem informasi pengelolaan sampah nasional mencatat sampah sisa makanan Indonesia mencapai 46,35 juta ton dalam skala nasional.
Upaya penanganan _food waste_ perlu diperhatikan dari hulu hingga hilir. Mulai dari pengaturan setelah panen yakni teknik penyimpanan, pengemasan dan pemasaran yang tepat. Pemerintah dengan aturannya seharusnya memberikan edukasi kepada petani dan masyarakat luas agar tidak terjadi _food loss_ dan _food waste_. Membeli makanan sesuai kebutuhan, bukan sesuai keinginan. Peran negara harus benar-benar tepat sasaran. Namun nyatanya hari ini negara hanya sebatas ada. Kenyataannya sudah ada pada UU Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengolahan sampah yang sudah tergambar sangat jelas, namun data menjelaskan bahwa Indonesia darurat sampah makanan.
Buah dari Penerapan Sistem Kapitalisme Sekuler