Opini

Ironi Penegakan Hukum Kasus Korupsi

208
×

Ironi Penegakan Hukum Kasus Korupsi

Sebarkan artikel ini

 

Oleh Ummu Kholda
Pegiat Literasi

Tom Lembong atau Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan periode 2015-2016 ditetapkan sebagai tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi kegiatan importasi gula periode 2015-2023 di Kementerian Perdagangan (Kemendag) oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Menurut Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, keterlibatan Tom Lembong dimulai ketika pada tanggal 12 Mei 2015, rapat koordinasi antar kementerian menyimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak perlu impor gula. Akan tetapi di tahun yang sama, Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan saat itu justru memberikan izin persetujuan impor gula.

Di sisi lain, Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu menyatakan keprihatinannya terkait penetapan tersangka terhadap Tom Lembong dalam kasus dugaan korupsi impor gula. Menurutnya, pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, setiap menteri perdagangan yang menjabat juga melakukan kebijakan impor gula dalam jumlah besar. Sehingga Said Didu pun menilai penetapan tersangka tersebut menandakan ada yang tidak beres dalam kebijakan impor gula selama masa pemerintahan Presiden Jokowi. (TVonenews.com, 31/10/2024)

Kasus lain yang tidak kalah viralnya adalah dugaan gratifikasi terhadap Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Kaesang Pangarep dalam kasus pemberian fasilitas jet pribadi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa pemberian fasilitas kepada putra bungsu Presiden Jokowi itu bukanlah gratifikasi karena Kaesang bukan penyelenggara negara dan ia terpisah dari orang tuanya. Maka dari itu putra bungsu Presiden Jokowi pun tidak dipidanakan. Pernyataan KPK tersebut sontak membuat pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bonaprapta pun angkat bicara. Ia menilai keputusan KPK tersebut menyesatkan dan sangat keliru. Seharusnya KPK itu tidak menyasar Kaesang melainkan meminta pertanggungjawaban hukum dari orang tuanya sebagai penyelenggara negara. (Kompas.com, 7/11/2024)

Tebang Pilih, Keniscayaan dalam Kapitalisme Sekuler

Terlihat jelas, bagaimana penanganan dua kasus di atas, yakni kasus Tom Lembong dan Kaesang yang begitu berbeda perlakuannya. Ini menandakan adanya praktik tebang pilih dalam menangani dan mengusut kasus korupsi di Indonesia. Penanganan seperti ini sebetulnya bukan yang pertama kali, karena sebelumnya juga ada beberapa kasus yang lambat penanganannya dan tidak kunjung selesai meski sudah bertahun-tahun lamanya. Seperti kasus Bank Century, dana BLBI, kasus KTP elektronik, dan kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp271 triliun.

Dari sini juga terlihat bahwa pemerintah tidak serius dalam menangani kasus korupsi, bahkan lamban dan dianggap hal biasa. Padahal korupsi yang mereka lakukan sangat merugikan negara sekaligus rakyat. Anehnya para koruptor sepertinya sudah tidak malu lagi, sibuk memperkaya diri meski banyak pihak yang terzalimi.

Dari sisi pemberian hukuman pun negara tidak tegas, sanksi yang diberikan tidak memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi. Bahkan hukum di negeri ini dapat dibeli, asalkan ada uang, urusan pun beres. Berbeda dengan rakyat miskin ketika kedapatan mencuri, maka prosesnya begitu cepat dan penjara sudah menanti.

Ditambah lagi, jauhnya keimanan dari sisi individu dan hilangnya rasa takut terhadap Sang Pencipta. Karena tidak dimungkiri negeri kita ini mengemban ideologi kapitalisme yang berasaskan sekularisme. Sekularisme telah menihilkan peran agama dalam kehidupan. Sementara kapitalisme adalah sistem yang mengedepankan materi dan keuntungan semata. Sistem ini juga meniscayakan kekuasaan yang cenderung korup karena tidak adanya kontrol agama terhadap perilaku manusia ketika menjadi penguasa. Agama hanya boleh dimanifestasikan dalam ranah privat, yakni akidah, ibadah, dan akhlak. Sementara dalam urusan kehidupan termasuk sistem politik kenegaraan, agama tidak boleh hadir untuk mengaturnya. Akibatnya, kekuasaan berjalan secara liberal. Penguasa pun seolah berwenang untuk berbuat sesuka hati demi meraih dan mempertahankan kekuasaannya termasuk dengan tindakan korupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *