Opini

Ironi Buruh dalam Kapitalisme: Upah Minimum dan Tantangan Kesejahteraan

136

 

Oleh Ranti Nuarita, S.Sos.
(Aktivis Muslimah)

Ironi yang menyesakkan masih mewarnai kehidupan para pekerja ini. Meski mereka bekerja keras, sering kali selama lebih dari delapan jam sehari, banyak buruh masih hidup dalam keterbatasan ekonomi, upah yang rendah, dan jaminan kesejahteraan yang minim.

Dalam berbagai aksi dan protes, buruh menuntut hak-hak dasar seperti kenaikan upah, perlindungan sosial, hingga kondisi kerja yang layak. Namun, impian untuk mencapai kehidupan yang lebih baik masih jauh dari kenyataan bagi sebagian besar buruh di Indonesia.

Mengutip dari cnbcindonesia.com, Kamis (7/11/2024) Belakangan ini pembahasan terkait kenaikan upah minimum sedang panas-panasnya. Subchan Gatot selaku Ketua Komite Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia mengungkapkan bahwa mulai hari Sabtu hingga Senin tidak terkecuali Minggu Dewan Pengupahan Nasional sudah melakukan sidang, bahkan pada hari Minggu menteri mengadakan rapat khusus di mana semua bahas soal pengupahan.

Adapun pada tahun ini jika mengikuti PP51/2023, Apindo ingin membuat skala upah. Di mana pekerja dengan masa kerja lebih dari satu tahun akan dapat kenaikan gaji dengan skala tergantung kemampuan perusahaan, antara 1–3%.

Kenaikan upah buruh tahun 2025 yang diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan pekerja di Indonesia ternyata tidak sebanding dengan kenaikan pajak dan lonjakan biaya hidup yang terus meningkat. Meski ada penyesuaian upah, besarnya masih jauh dari cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari yang makin mahal.

Pengaruh Sistem Kapitalisme

Kebijakan upah minimum yang berlaku justru mempertegas ketimpangan, membuat para buruh merasa terjebak dalam lingkaran sulit untuk sejahtera ataupun mencapai taraf hidup yang layak. Bukan tanpa alasan, ironi buruh yang tak kunjung selesai sejatinya berakar dari kapitalisme.

Dalam sistem kapitalis, buruh dipandang sebagai bagian dari faktor produksi yang keberadaannya penting, tetapi sering kali hanya sebatas alat untuk mencapai keuntungan maksimal bagi pemilik modal. Bahkan demi menjaga profit yang tinggi, banyak perusahaan menetapkan upah seminimal mungkin bagi buruh mereka.

Hal tersebut membuat para pekerja hidup dalam kondisi pas-pasan dan sering kali sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Standar upah dalam kapitalisme biasanya disesuaikan dengan biaya hidup minimum di daerah tempat mereka bekerja, sehingga buruh berada dalam tekanan ekonomi yang terus-menerus.

Kapitalisme memang meniscayakan regulasi yang lebih berpihak kepada pengusaha dibandingkan buruh. Misalnya saja peraturan upah sering kali ditetapkan pada batas terendah untuk mendukung efisiensi dan profitabilitas perusahaan, tanpa banyak mempertimbangkan kesejahteraan buruh yang hidup dari gaji tersebut.

Akibatnya, buruh hanya mendapatkan penghasilan yang pas-pasan, nyaris tidak memiliki ruang untuk meningkatkan kualitas hidup mereka atau mencapai stabilitas ekonomi. Belum cukup sampai di situ dalam sistem kapitalis buruh juga kehilangan posisi tawar yang kuat.

Sebab, status mereka sebagai pekerja, buruh sering kali terjebak dalam ketergantungan pada pekerjaan yang mereka miliki, sehingga sulit untuk mengajukan tuntutan atau negosiasi kenaikan upah. Bahkan, ketika buruh ingin memperjuangkan hak mereka, posisi tawar mereka cenderung lemah, terutama jika pengusaha memiliki kendali lebih besar dalam menentukan aturan kerja dan gaji.

Exit mobile version