B. Qarira Shaula, M.Pd.I
Perguruan tinggi pada hakikatnya merupakan sebuah lembaga yang dinamis untuk meningkatkan kadar pengetahuan, membentuk kesiapan mental, emosional maupun spiritual pada peserta didik agar dapat terjun dan berkontribusi di tengah masyarakat. Sebagai lembaga yang mewadahi peserta didik, integritas perguruan tinggi turut menjadi cerminan output yang dihasilkan. Namun, akhir-akhir ini integritas perguruan tinggi kembali tercoreng. Setelah kasus pilu yang menimpa para mahasiswa yang mengalami TPPO berdalih magang, kasus joki nilai dan plagiasi ilmiah yang dilakukan oleh oknum pendidik membuat perguruan tinggi menjadi sorotan.
KD yang merupakan salah satu guru besar termuda di Indonesia sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi UNAS, menjadi pembicaraan setelah namanya terseret dalam kasus pelanggaran etik berat dibidang akademik. Kasus ini terungkap ketika retraction watch melaporkan adanya pencatutan 24 nama staff Universitas Malaysia Trengganu (UMT) dalam publikasi ilmiah KD. Selain KD terdapat juga kasus joki nilai yang dilakukan oleh seorang profesor program Pascasarjana di Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak. Oknum dosen tersebut diduga membantu mahasiswa untuk memperoleh nilai mata kuliah padahal yang bersangkutan tidak pernah mengikuti kegiatan belajar mengajar.
Problem kecurangan akademik di perguruan tinggi bukanlah masalah yang baru muncul di Indonesia. Kasus pencatutan artikel, rekayasa data, plagiarisme, klaim penulisan, pengiriman artikel berulang, atau pelanggaran kode etik setiap tahunnya terus meningkat. Pada tahun 2022 saja ada sekitar 18 artikel ilmiah yang dicabut, angka ini meningkat menjadi 27 artikel pada 2024. Peningkatan ini tentu berpengaruh negatif terhadap reputasi dan integritas Indonesia dikancah nasional dan global.