Jakarta, nusantaranews.net – Hutan menjadi kunci dalam keseimbangan karbon di udara. Studi yang dilakukan Maryville University (2022) mendapati selama 3 dekade sampai 2020, hutan dinilai efektif menyerap karbon sebesar 25% dengan total penyimpanan sebesar 55,93 juta metrik ton karbon.
Ironisnya, statistik menunjukkan bahwa deforestasi maupun degradasi hutan terus terjadi. Organisasi yang bergerak dalam konservasi sumber daya alam, Auriga Nusantara (2023), mencatat deforestasi dan degradasi hutan pada 2023 mencapai 257.384 hektar. Terpantau lebih luas dibanding tahun sebelumnya yakni 230.760 hektar.
Salah satu penyebab deforestrasi adalah untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar konvensional. BPS mendata, penggunaan kayu bakar atau arang masih mendominasi setelah elpiji sebagai kebutuhan energi rumah tangga, terutama pada wilayah terpencil sebesar 9,19%. Padahal, nilai dari faktor emisi dari hasil pembakaran kayu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan gas LPG.
Ialah Ni Kadek Karian Dewi, Mahasiswa Program Studi Ekonomi Universitas Pertamina (UPER), berhasil menciptakan alternatif dengan mengganti bahan bakar kayu atau arang menjadi briket yang berasal dari sampah sorgum. Berkat inovasinya tersebut Karin berhasil menjadi perwakilan wilayah Asia Pasifik dalam Global Students Entrepreneur Awards (GSEA) 2024 di Afrika Selatan.
“Biasanya di wilayah pedesaan, bahan bakar konvensional utama dalam rumah tangga menggunakan kayu bakar atau arang. Namun karena hal ini menimbulkan permasalahan, inovasi briket dari limbah sorgum ini dapat menjadi energi alternatif. Dengan keuntungan 2 kali lipat lebih lama dan harganya yang relatif murah, briket sorgum tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pengganti kayu bakar atau arang,” pungkas Karina.
Pengembangan briket ramah lingkungan tersebut didasari bahwa di Buleleng, Bali, sorgum menjadi komoditas utama mata pencaharian penduduk. Dengan luas lahan 30 hektar, panen sorgum dapat mencapai 3 ton per hektar dan di panen dalam 3 kali per tahun. Jumlah yang cukup besar ini juga menyumbang keberadaan limbah sorghum yang besar pula. 85% tanaman sorghum diantaranya berakhir menjadi limbah.
Selain permasalahan sampah sorgum yang melimpah, kesejahteraan petani sorgum juga menjadi tantangan di wilayah Buleleng. Berdasarkan BRIN (2023) diketahui harga per kilogram sorgum berkisar Rp. 10.000 hingga Rp. 21.000, tidak sebanding dengan tenaga dan biaya yang dikeluarkan petani dalam budidaya sorgum.