Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Penjabat Wali Kota Bekasi, Raden Gani Muhamad, menilai tingginya angka inflasi di Kota Bekasi masih dianggap wajar. Beliau mencatat bahwa wilayah Kota Bekasi bukanlah daerah produsen, melainkan daerah konsumen. Pernyataan ini disampaikan setelah Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat mengeluarkan laporan tentang inflasi year on year (y-on-y) di Provinsi Jawa Barat pada Juli 2024 yang mencapai 2,25 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 106,83. Dalam laporan tersebut, Kota Bekasi tercatat memiliki inflasi tertinggi di Jawa Barat sebesar 2,75 persen dengan IHK sebesar 107,47. (rakyatbekasi.com, 05-08-2024).
Jika dilihat dari Inflasi Indonesia per Mei 2024, disebut masih terkendali di bawah 3%. Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, hal ini didorong oleh harga pangan yang sebelumnya sempat melonjak kini telah mereda. Menkeu, dalam Konferensi Pers “APBN Kita, Kinerja dan Fakta” Edisi Mei 2024, Kamis (27-6-2024), menyebut tekanan dari harga pangan yang memuncak sejak Desember 2023 hingga April 2024 sudah mulai mereda untuk volatile food atau. Hal ini membuat inflasi RI turun dari 3% ke level 2,84% year-on-year (yoy). Meski begitu, Bank Dunia menilai, inflasi Indonesia akan menghadapi tekanan kenaikan dari harga pangan dan energi global.
Mengamati hal ini jika memang Bekasi adalah daerah konsumen, bukan produsen, namun kemudian tingkat Inflasi meningkat, berarti ada yang tidak beres dalam kehidupan ekonomi masyarakat Bekasi. Tentunya hal ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi perekonomian Indonesia yang juga sedang tidak baik-baik saja.
*Penurunan Daya Beli*
Memang, kondisi ekonomi yang memburuk saat ini tengah menghantam Indonesia. PHK semakin merajalela sementara harga pangan banyak yang melonjak mulai dari beras hingga gula. Demikian pulalah yang terjadi di Bekasi. Kondisi ini ikut menekan permintaan masyarakat.
Berdasarkan data kementerian ketenagakerjaan (kemnaker), pada periode Januari-Juni 2024 terdapat 32.064 orang tenaga kerja yang terkena PHK. Angka tersebut naik 21,4% dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 26.400 orang. Sejumlah indikator menunjukkan adanya pelemahan daya beli sehingga masyarakat terpaksa mengurangi belanja.
Data Bank Indonesia menyebut proprosi konsumsi masyarakat Indonesia pada Juni berada di angka 73,9%. Proporsi ini lebih baik dibandingkan Mei tetapi jauh di bawah rata-rata 2023 yang berada di angka 75%. Jadi Bekasi sebagai daerah konsumen dengan kondisi perekonomian rakyatnya yang tidak membaik, wajar jika kemudian mengalami penurunan daya beli.
Menanggapi hal ini Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, tim pengendali inflasi pusat dan daerah memang terus bekerja menjaga tingkat inflasi tahun ini di level 2,5%. “Inflasi kan memang kita ada tim inflasi, TPIP dan TPID, yang memang mau menurunkan inflasi, dan pasca lebaran kan turun ke 2,5%,” kata Airlangga di kantornya, Jakarta. Maka, Airlangga mengatakan, penurunan harga-harga terjadi untuk kelompok bahan pangan. Ia menganggap, tak ada yang salah dengan daya beli masyarakat.
Namun, seringan itu kah menanggapi kondisi seperti ini? Tidakkah ada upaya untuk mencari penyebab dan menyelesaikannya secara paripurna?
*Ada Sebab Ada Akibat*
Dalam kamus ekonomi, Inflasi adalah suatu periode pada masa tertentu, yang terjadi ketika suatu kekuatan dalam membeli terhadap kesatuan moneter menurun. Bisa juga dipahami, inflasi adalah satu keadaan atau periode ketika harga-harga serta upah pada umumnya mengalami peningkatan. Jadi, daya beli masyarakat itu turun sehingga tentu saja ia harus mengeluarkan uang lebih banyak karena harga-harga naik.
Sesungguhnya jika mau menelisik lebih dalam, ada aspek yang sangat berperan sebagai penyebab Inflasi di suatu negeri. Aspek moneternya atau mata uangnya sebetulnya penyebab utama atas apa yang terjadi.
Sebetulnya para ekonom kapitalis pun menyadari bahwa ada problem dalam sistem mata uang yang sekarang dipakai. Problemnya adalah sistem mata uang yang dipakai oleh seluruh negara mengacu kepada negara terbesar saat ini. Negara adi daya Amerika Serikat mendominasi mata uang dunia dengan uang kertas dolar. Inilah yang menjadi problem utama karena mata uang menjadi salah satu alat yang dipergunakan negara-negara besar tersebut untuk mengooptasi atau mendominasi negara lain.
Penciptaan uang dalam sistem moneter hari ini yang tidak berbasis pada kestabilan sebagaimana yang dimiliki emas dan perak, tetapi semata-mata terbuat dari kertas telah menghancurleburkan sistem moneter dunia. Semua yang tersangkut di dalamnya merasakan akibatnya. Berapa pun yang diinginkan oleh negara-negara besar untuk melakukan penciptaan atau pencetakan mata uang, maka bisa saja bisa dilakukan. Kondisi ini dimanfaatkan dengan optimal oleh negara-negara pemegang peradaban, salah satunya AS.
Bayangkan. Jika AS terus-menerus melakukan pencetakan mata uang dan mata uangnya juga masih dipakai oleh semua negara di dunia, maka problem inflasi yang berawal dari negara-negara besar ini akan menjadi efek domino ke negara-negara berkembang. Tidak terkecuali Bekasi sebagai kota yang merupakan bagian dari negara yang berkategori berkembang.