Oleh: Bunda Dee
Penggiat literasi
Kasus narkoba selalu menjadi pemberitaan hangat di media. Modusnya pun semakin beragam dan dikemas sedemikian apik agar tidak terpantau oleh aparat. Baru-baru ini marak ditemukan penjualan narkoba menggunakan kemasan makanan salah satunya dalam kemasan susu formula. Hal ini menunjukkan bahwa peredaran zat adiktif tersebut semakin dekat dengan masyarakat. Kepolisian terus memburu produsen, bandar, hingga pengedar narkoba demi melindungi masyarakat dan mencegah kerusakan yang lebih besar.
Dilansir dari Warta Ekonomi (11 Mei 2024), Adang Daradjatun, Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengapresiasi keberhasilan Polri dalam mengungkap sindikat penjualan narkoba dalam bentuk kemasan makanan dan akan terus mendukung langkah-langkah pemerintah dan kepolisian dalam menanggulangi peredaran narkoba demi terciptanya masyarakat yang sehat dan aman dari ancaman zat adiktif.
Masih di laman yang sama, Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri mengungkapkan selama periode September 2023 hingga Mei 2024 satuan tugas Penanggulangan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P3GN) telah menangkap 28.382 tersangka terkait dengan kasus penyalahgunaan narkoba.
Perang semesta melawan peredaran narkoba menjadi jargon di setiap lembaga pemerintahan. Institusi pendidikan pun serius memberikan dukungan. Melalui BNN, negara mengajak masyarakat menjadi mitra dalam berbagai program pemberantasan narkoba. Berbagai rencana aksi ini pada faktanya harus berhadapan dengan kecerdikan para pengedar narkoba yang kian lihai. Ini membuktikan bahwa negeri ini menjadi primadona para pebisnis narkoba. Besarnya perputaran uang dalam bisnis kotor ini mampu membutakan mata dan pikiran.
Peredaran narkoba nyatanya tak pernah usai, meski Indonesia memiliki institusi khusus untuk menangani kejahatan narkoba, yaitu BNN. Hal menggambarkan betapa narkoba sudah menggurita dan merajalela. Meski ada yang ditangkap, namun sayangnya masih yang skala kecil, baik pemakai maupun bandar.
Peredaran narkoba di Indonesia masih menjadi PR besar. Mengapa narkoba begitu sulit diberangus? Setidaknya ada beberapa faktor kompleks yang melatarbelakanginya. Pertama, pengguna semakin beragam, mulai dari kalangan pelajar, ibu rumah tangga, artis, selebgram, hingga aparat penegak hukum. 1,3 juta ekstasi diproduksi demi memenuhi permintaan pasar. Sebagaimana prinsip ekonomi dalam kapitalisme, ketika permintaan barang meningkat, pengadaan stok barang akan meningkat pula.
Kedua, kompleksitas kejahatan narkoba. Daya rusaknya dahsyat hingga bisa menyebabkan satu negara bisa lumpuh. Ketiga, keterlibatan aparatur negara. Penanganan menjadi makin rumit tatkala aparat penegak hukum yang seharusnya bertanggung jawab memberangus narkoba malah ikut-ikutan menjadi pengguna, pengedar, bahkan bandar. Keempat, gurita bisnis narkoba di pasar internasional. Berbisnis narkoba menjadi pilihan tepat bagi mereka yang ingin cepat kaya secara materi sebagai mana,asas kehidupan berparadigma sekuler kapitalisme membuat visi hidup seseorang hanya mencari kesenangan materi dan dunia, meski dengan cara yang diharamkan dan merugikan banyak orang. Alhasil, individu mudah terjebak dengan arus kejahatan dan kriminalitas. Asalkan bisa kaya, cara apa pun dihalalkan meski harus menjadi pelaku kejahatan.
Kelima, lemahnya penegakan hukum dan sanksi bagi pelaku. Saat ini, regulasi hukum terkait narkoba berjalan lambat. Kinerja Polri dalam membongkar dan memberantas narkoba memang baik. Hanya saja, penegakan hukum terhadap pelaku narkoba belum memberikan efek jera. Contohnya, pengguna narkoba hanya dihukum rehabilitasi tanpa dipidana, padahal pengguna, pengedar, maupun bandar sama-sama melakukan kejahatan.