Oleh Neneng Sriwidianti
Pengasuh Majelis Taklim
Sungguh miris! Palaku judi online merebak hampir di seluruh negeri. Menyasar masyarakat mulai dari orang tua, dewasa, remaja, hingga anak-anak, laki-laki maupun perempuan. Pelakunya pun bukan hanya masyarakat awam, tetapi ASN, pegawai BUMN, wartawan dan yang lainnya. Kasus terbaru adalah judol yang melibatkan beberapa oknum pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital.
Polda Metro Jaya menangkap 11 orang terkait judi online (judol) yang melibatkan beberapa oknum pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) pada Jumat (1-11-2024). Dua hari kemudian, polisi kembali menangkap dua tersangka baru dalam kasus judol tersebut. Tersangka baru ini merupakan pegawai Kemkomdigi, sedangkan satu orang lainnya merupakan masyarakat biasa. (viva.co.id, 1/11/2024)
Menkomdigi, Meutya Hafid menanggapi hal ini, bahwa pihaknya berkomitmen dengan mendukung penuh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk memberantas semua bentuk aktivitas ilegal, termasuk judol. Ia juga mengingatkan kepada seluruh ASN di lingkungan Kemkomdigi untuk meneken pakta integritas memerangi judol sehingga mereka diharapkan untuk mematuhinya.
Ada yang aneh dari pernyataan Menkomdigi ini, bahwa dia akan memberantas semua bentuk aktivitas ilegal termasuk judol. Pertanyaannya, apakah kalau judi itu legal berarti dibolehkan? Padahal, ilegal ataupun legal, judi tetap hukumnya haram dan pelakunya dikategorikan berdosa.
Demokrasi Sistem Rusak
Judol telah mengepung negeri ini. Berdasarkan catatan PPATK (26-7-2024) total akumulasi perputaran dananya mencapai Rp327 triliun dari 168 juta transaksi judol sepanjang 2023 dan akan terus bertambah, selama akar masalahnya tidak dicabut. Total akumulasi perputaran dana transaksi judol sejak tahun 2017 mencapai Rp517 triliun. Sebuah angka yang fantastis.
Permasalahan judol di negeri ini bukan hanya persoalan individu semata, tetapi bersifat sistemik. Inilah, akibat diterapkannya sistem demokrasi yang rusak. Paham demokrasi yang mengagung-agungkan kebebasan telah disalahgunakan. Teknologi yang seharusnya dipakai untuk hal-hal baik, nyatanya digunakan secara bebas tanpa batas, mereka ingin mendapatkan harta sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan segala cara. Seharusnya hal ini semakin menyadarkan masyarakat akan realitas rusaknya sistem demokrasi.
Sekularisme yang menjadi asas sistem demokrasi kapitalisme telah meniscayakan arah pandang hidup rusak dan merusak. Bukan hanya menyeret masyarakat dalam pusaran setan judol, sekularisme juga terbukti merusak mereka, semakin jauh dari Islam. Lebih parah lagi, para pejabat yang seharusnya menjadi pihak pertama menanggulangi penyalahgunaan teknologi seperti halnya judol malah menjadi pelaku terdepan dalam menggunakan teknologi digital untuk kemaksiatan.
Padahal, jelas-jelas judi adalah aktivitas yang diharamkan dalam Al-Qur’an. “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan anak panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaann itu).” (QS Al-Maidah [5]: 90-91).