Opini

Ilusi Keadilan dalam Sistem Demokrasi

89
×

Ilusi Keadilan dalam Sistem Demokrasi

Sebarkan artikel ini

Oleh : Siti Marhawa

Saat ini masyarakat kehilangan kepercayaan akan hukum di negeri ini. Bagaimana tidak, berbagai kasus kriminalitas yang terjadi mengoyak nurani keadilan masyarakat karena tidak adanya sanksi tegas bagi pelakunya.
Di antaranya kasus pelanggaran etik ketua KPU Hasyim yang bukan kali ini saja dilakukan sejak menjabat sebagai ketua KPU pada 2022. Sebelumnya, ia sudah beberapa kali dilaporkan, disidang dan dijatuhi sanksi oleh DKPP.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari terbukti menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya dalam kasus tindak asusila terhadap CAT, perempuan anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda.
Dalam perkara Nomor 90-PKE-DKPP/V/2024 itu, DKPP menyebut Hasyim menggunakan fasilitas negara berupa mobil Toyota Fortuner Walpri berpelat dinas Polri pada 9 Maret 2024 untuk keperluan pribadi, yakni mendekati CAT saat berada di Jakarta. (Tempo.co, 04/07/2024).
Begitupun dengan kasus Ronald Tannur yang divonis bebas dari dakwaan kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian kekasihnya Dini Sera Afrianti. Karena dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang dituangkan dalam dakwaan pertama Pasal 338 KUHP atau kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP atau Pasal 259 KUHP dan Pasal 351 ayat (1) KUHP. Padahal, barang bukti berupa rekaman CCTV dan hasil visum korban telah dihadirkan dalam persidangan. (Jpnn.co, 28/07/2024)
Dimas Yemahura, penasihat hukum keluarga korban mengungkapkan bahwa keputusan ini menunjukkan betapa sulitnya mencari keadilan di Indonesia. (Surabayapostnews.co, 24/07/2024).
Hal tersebut hanyalah dua dari sekian banyak kasus yang menggambarkan sistem hukum jauh dari keadilan. Dalam sistem saat ini mengharapkan keadilan bagaikan oase di tengah padang pasir, bahkan sudah menjadi rahasia umum hukum di negeri ini hanya menguntungkan bagi yang berduit dan orang yang punya kuasa. Hukum tajam ke bawah tumpul ke atas.
Hukuman yang diberikan pun sama sekali tidak memberikan efek jera, sehingga tidak mengherankan kasus-kasus kriminal bukannya hilang, justru semakin banyak. Pelecehan, menganiaya hingga menghabisi nyawa orang seolah-olah hal biasa.
Padahal Islam memiliki aturan yang jelas dan tegas dalam hal perlindungan nyawa sebagaimana firman Allah Swt:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam pembunuhan (kisas). Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS Al-Isra’ [17]: 33).
Tentu hal itu menjadi bukti lemahnya hukum buatan akal manusia yang diterapkan. Manusia adalah makhluk yang lemah, terbatas, dan sering terjebak pada konflik kepentingan. Sehingga mustahil untuk mendapatkan keadilan.
Hak-hak masyarakat saat ini banyak tidak tertunaikan sebagaimana mestinya, bahkan terzalimi. Inilah gambaran sistem hukum dalam demokrasi, di mana uang berkuasa menjadi penentu hukum. Segala sesuatunya menjadi mudah ketika uang sudah bicara.
Islam satu-satunya sistem yang sempurna dan menyeluruh. Berbeda dengan sistem saat ini, Islam menegakkan keadilan dengan berpedoman pada aturan Allah, Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Adil. sehingga tidak ada yang berani mempermainkan ataupun jual beli dalam menetapkan hukum.
Dalam Islam kejahatan adalah sebuah pelanggaran terhadap aturan syara yang mengatur interaksi manusia dengan Rabb-nya, dengan dirinya sendiri, dan dengan orang lain.
Berdasarkan hukum syar’i Islam telah mengatur segala aktivitas manusia. Ketika melanggar hukum-hukum tersebut, maka bisa dikatakan ia telah melakukan kejahatan. Syariat Islam sendiri sudah menjelaskan bahwa setiap kejahatan akan dikenai sanksi, baik di dunia maupun akhirat.
Pembunuhan misalnya, apabila dilakukan dengan sengaja seperti membunuh dengan menggunakan senjata, akan dijatuhi hukuman mati jika keluarga korban tidak mau memaafkan dan menerima diat. Selanjutnya, pembunuhan yang tidak disengaja seperti memukul orang dengan kayu, atau alat yang secara umum tidak digunakan untuk melakukan pembunuhan, tapi orang tersebut meninggal. Maka dikenakan hukuman diat mughaladah (ganti rugi yang berlipat ganda), yaitu memberikan tebusan 100 ekor unta, 40 diantaranya adalah unta yang tengah bunting yang diserahkan kepada keluarga korban. Jika tidak mampu, ia wajib membayar kafarat dengan memerdekakan budak perempuan mukminah atau puasa dua bulan berturut-turut.
Adapun orang yang membunuh karena khilaf atau tanpa maksud untuk membunuh, seperti peluru yang digunakan untuk latihan menembak tapi justru mengenai orang. Hukumannya adalah diat mukhaffafah, yaitu memberikan 100 ekor unta kepada keluarga korban atau memerdekakan hamba perempuan mukminah.
Adapun sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual seperti pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu dirajam atau dilempari batu hingga mati jika pelakunya sudah menikah dan dijilid atau dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun jika pelakunya belum menikah.
Islam memiliki sistem sanksi yang tegas dan menjerakan, berfungsi sebagai zawajir (pencegah) agar orang lain tidak melakukan hal yang sama. Serta menjadi jawabir (penebus) agar orang yang melakukan kejahatan, kemaksiatan, atau pelanggaran bisa dipaksa untuk menyesali perbuatannya, sehingga tobat nasuhah. Seseorang yang telah mendapat sanksi yang syar’i di dunia maka gugurlah sanksi baginya di akhirat.
Sistem Islam menjaga kedaulatan hukum tetap berada di tangan syara’ dan juga menerapkan aturan Islam secara kafah. Adapun pelaksanaan sanksi di dunia dilangsungkan oleh Khalifah ataupun orang yang ditunjuk mewakilinya. Dengan kata lain, negaralah yang melaksanakannya. Sehingga tidak mudah untuk diperjualbelikan sesuai dengan kepentingan. Wallahualam bissawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *