*Islam Wujudkan Keluarga Ideal Bukan Hanya Seremonial*
Allah Ta’ala berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim : 6).
Ayat ini, menyertai umat Islam agar selalu berada pada koridor aturan-Nya. Sehingga penjagaan keluarga akan senantiasa ada.
Haruskah penjagaan itu ada? Tentu. Harus ada karena keluarga merupakan institusi terkecil dalam masyarakat. Generasi pun ada diawali dengan adanya keluarga. Jika keluarga yang dibangun sampai pada sakinah mawadah dan rahmah sesuai aturan Allah Ta’ala maka bangunan keluarga ideal yang mampu menghasilkan generasi unggul, kuat, tangguh bahkan mampu membangun peradaban mulia tentu terwujud.
Sungguh saat hampir 14 abad tegaknya sistem Islam di muka bumi, sosok-sosok agung , seperti Abdullah bin Abbas ra., Abdullah bin Umar ra., Abdullah bin Amru ra., Abdullah bin Zubair ra., Imam Syafi’i, hingga generasi Shalahuddin al-Ayyubi dan Muhammad al-Fatih, terlahir di dalamnya.
Perwujudan ketangguhan generasi tersebut adalah karena adanya realisasi perintah Allah Ta’ala dalam ayat di atas terkait sistem kehidupannya. Khilafah selaku negara yang menerapkan aturan Allah secara kafah terwujud secara paripurna pada masa itu.
Dalam sistem Islam, khilafah mewujudkan individu-individu yang bertakwa dan senantiasa terikat dengan hukum syarak. Insannya tumbuh menjadi orang-orang yang siap membangun keluarga dan peradaban. Tak ketinggalan Khilafah pun menjamin penuh keberlangsungan kontrol sosial masyarakat yang siap menjadi inkubator dakwah Islam. Peran penuh negara untuk menopang ketahanan keluarga sangat dominan keberadaannya.
Dalam sistem Islam keluarga ideal diwujudkan dengan beberapa faktor pendukung yang direalisasikan bukan diseremonialkan dalam panggung sandiwara. Faktor pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, dan sanksi diperhatikan agar dapat menyokong ketahanan keluarga.
Dalam sistem Islam, pendidikan yang menghasilkan generasi berkepribadian Islam yang siap mengemban dakwah, diwujudkan baik dalam keluarga secara informal, juga dalam pendidikan formal dan nonformal di masyarakat. Kebobrokan demokrasi yang landasannya sekularisme dan pilarnya kebebasan, sehingga kering dari amar makruf nahi mungkar, dihasilkan karena mandulnya sistem pendidikan. HAM dan budaya serba boleh menjadi ide yang mendominasi pemikiran umat.
Jika dalam demokrasi relasi ekonomi antara penguasa dan rakyat tidak ubahnya majikan dengan pekerja, juga bagaikan penjual dan pembeli yang terjadi akibat sistem yang liberal. Tidak demikian dalam Islam. Dalam sistem Islam konsep pengelolaan ekonomi adalah mengurus dan menjamin distribusi harta merata secara individu per individu, sehingga tidak ada jenjang yang panjang antara rakyat dan penguasa, antara si miskin dan si kaya.
Dalam sosial-budaya pun Islam mengaturnya dengan baik. Jika individu dalam demokrasi manusia adalah obyek eksploitasi oleh sistem yang menghamba pada modal, dalam Islam, pemberdayaan individu berpijak pada posisi seorang hamba di hadapan hukum syarak, tanpa mengabaikan dakwah sebagai poros hidupnya. Manusia dimanusiakan di dalamnya.
Demikian pula dalam hal sistem sanksi. Sistem buatan manusia dalam demokrasi tidak pernah bersifat mencegah dan menjerakan serta tidak ada aspek transendental (ukhrawi) sehingga mudah sekali dikompromisasi, bahkan bisa diperjualbelikan. Sedangkan dalam sistem Islam, sanksi ditegakkan menurut syariat sehingga otomatis mampu mencegah dan menjerakan.
Sebagai makhluk ciptaan Allah, sudah selayaknya kita meyakini bahwa hanya aturan Allah saja yang tepat untuk mengatur hidup kita. Dengan Khilafah, aspek fungsi negara sebagai pengayom dan penyelenggara aturan kehidupan akan terwujud. Hal ini karena dalam Khilafah, pemerintah adalah pihak pelaksana syariat Allah.
Jika Harganas dalam sistem demokrasi saat ini hanyalah ilusi yang dihadirkan secara seremoni untuk wujudkan generasi emas, maka solusi tuntas memang hanya dengan mengganti sistem demokrasi kapitalisme menjadi sistem Islam. Pelaksanaan syariat Islam memiliki keterkaitan dan keterpaduan untuk selesaikan masalah terkait urusan hidup manusia. Jika penyelesaian hanya sebatas seremoni saja, harapan dan cita-cita tinggi untuk wujudkan Indonesia emas hanya isapan jempol belaka.
Wallaahu a’laam bisshawaab.