OpiniOpini

Hidup Layak, Khayalan Kekal di Sistem Kapitalisme

90

 

Oleh: Jelvina Rizka

 

Dalam sistem kapitalisme yang mengutamakan laba dan persaingan, ide tentang “hidup layak” sering kali terdistorsi menjadi sebuah khayalan belaka. Kapitalisme menawarkan janji kemakmuran dan kebebasan ekonomi, namun kenyataannya, standar hidup yang layak semakin sulit dicapai oleh sebagian besar masyarakat. Akses terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan menjadi semakin terbatas, sementara kesenjangan ekonomi semakin melebar. Dalam sistem ini, kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang, sementara mayoritas lainnya terjebak dalam kehidupan yang tidak memenuhi syarat sebagai kehidupan yang layak. Padahal, seharusnya, standar hidup yang layak bukanlah sebuah impian yang hanya bisa dijangkau oleh segelintir orang, melainkan hak dasar setiap individu.

 

Dilansir dari Jakarta, CNN Indonesia-Buruh ramai-ramai merespons rilis Badan Pusat Statistik (BPS) terkait standar hidup layak 2024 sebesar Rp1,02 juta per bulan. Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) mengkritik penggunaan istilah ‘standar’ dalam survei BPS. Presiden ASPIRASI Mirah Sumirat mewanti-wanti bahaya salah makna data ini, di mana berpotensi disamakan dengan komponen hidup layak (KHL). Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi juga tak mengerti dengan parameter standar hidup layak ala BPS. Ia mempertanyakan apa poin-poin yang disurvei sehingga menghasilkan angka Rp1,02 juta per bulan. Sedangkan BPS mengklaim dimensi standar hidup layak dalam IPM dihitung melalui rata-rata pengeluaran dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Angka yang timbul disebut sudah disesuaikan dengan inflasi dan paritas daya beli.

 

Dalam sistem kapitalis, kehidupan layak sering kali dinarasikan sebagai kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka melalui kerja keras dan persaingan bebas di pasar. Namun, narasi ini mengabaikan kenyataan bahwa banyak orang tidak memiliki akses yang setara untuk bersaing di pasar bebas, karena ketimpangan pendidikan, akses modal, dan kesempatan kerja. Dalam dunia kapitalisme, kesuksesan diukur berdasarkan kemampuan finansial, sementara mereka yang terpinggirkan dan kurang beruntung hanya dianggap sebagai “kegagalan” dalam sistem. Standar hidup yang layak pun berubah menjadi ukuran yang sangat materialistik, di mana kualitas hidup dinilai dengan harta dan status sosial semata.

 

Pengaruh sistem sekuler dalam hal ini sangat kuat. Dalam sistem yang mengabaikan nilai-nilai spiritual dan moral dalam kehidupan sehari-hari, segala sesuatu dipandang melalui lensa pragmatis dan ekonomi semata. Kesejahteraan manusia, yang seharusnya mencakup dimensi sosial, mental, dan spiritual, dipersempit menjadi kebutuhan material semata. Dalam tatanan ini, negara dan pemimpin seolah tidak memiliki kewajiban moral untuk menciptakan sistem yang menyejahterakan seluruh rakyat. Ketimpangan sosial dan ekonomi semakin lebar karena negara lebih memihak pada mekanisme pasar dan keuntungan kapitalis daripada pada keadilan sosial.

 

Hal ini menunjukkan kegagalan negara dan pemimpin dalam menjamin kesejahteraan dan keadilan. Seharusnya, negara memiliki tanggung jawab untuk menciptakan sistem kehidupan yang mengatur dan bersifat menyeluruh, yang tidak hanya mengutamakan keuntungan semata, tetapi juga kesejahteraan umat secara adil dan merata. Dalam sistem yang menyeluruh, keberadaan negara tidak hanya menjadi fasilitator bagi ekonomi pasar, tetapi juga sebagai penjaga keadilan sosial, yang menjamin kehidupan yang layak bagi semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Sayangnya, dalam realitas kapitalisme-sekuler ini, negara lebih sering kali berfungsi sebagai alat untuk memperkokoh kekuasaan ekonomi, sementara rakyat banyak dibiarkan bergulat dengan ketidakadilan sosial.

 

Pada zaman kekhilafahan Islam, prinsip keadilan sosial dan tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan rakyat sangat ditekankan, jauh berbeda dengan kondisi yang ada dalam sistem kapitalisme-sekuler saat ini. Dalam khilafah Islam, pemimpin tidak hanya bertindak sebagai penguasa, tetapi sebagai pengayom rakyat yang bertanggung jawab atas kebutuhan dasar mereka. Sebagai contoh, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, beliau menetapkan kebijakan yang memastikan setiap warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, mendapatkan kebutuhan pokok yang layak. Khalifah Umar bahkan menempatkan pegawai negara untuk memastikan setiap individu, terutama yang miskin, terlindungi dengan baik. Salah satu kisah terkenal adalah ketika seorang wanita miskin yang tinggal di Madinah mengadu karena kesulitan hidup. Khalifah Umar, setelah mendengar keluhannya, segera mengirimkan bantuan untuknya. Ketika beliau mengetahui bahwa bantuan tersebut tidak cukup, beliau tidak ragu untuk memperbaiki dan meningkatkan sistem distribusi untuk memastikan setiap orang bisa hidup dengan layak.

 

Kebijakan ini menunjukkan bahwa di bawah sistem khilafah Islam, negara bukan hanya bertindak sebagai pengatur, tetapi juga sebagai penjaga kesejahteraan rakyat. Ada rasa tanggung jawab yang besar dari pemimpin untuk menciptakan kesejahteraan bersama, tanpa memandang status sosial atau ekonomi. Pemimpin pada masa itu sadar bahwa tanggung jawab terhadap rakyat adalah bagian dari tugas agama dan moral, bukan sekadar kewajiban administratif. Sistem yang bersifat menyeluruh dan mengutamakan keadilan ini jauh berbeda dengan sistem kapitalisme-sekuler yang lebih fokus pada individualisme dan profit, yang sering kali mengabaikan hak-hak dasar rakyat. Sebagai perbandingan, jika kita melihat kondisi saat ini, banyak negara yang mengklaim demokratis dan sekuler malah justru memarginalkan rakyat miskin dan memberi ruang lebih luas bagi kepentingan ekonomi dan politik yang hanya menguntungkan segelintir orang.

 

Fenomena ketidakadilan dalam sistem kapitalisme-sekuler yang menghasilkan kesenjangan sosial dan ekonomi dapat diselesaikan dengan menerapkan sistem kehidupan Islam yang bersifat adil, merata, dan berorientasi pada kesejahteraan umat. Dalam Islam, keadilan dan kesejahteraan umat adalah tujuan utama yang harus diperjuangkan, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah (2:177): “Bukanlah kesalehan itu hanya menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi kesalehan itu adalah siapa yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, dan nabi, serta memberikan hartanya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, orang yang dalam perjalanan, peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya.” Ayat ini menunjukkan kewajiban umat Islam untuk memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan dan menjamin kesejahteraan sosial.

 

Al-Qur’an surah An-Nisa (4:58): “Sesungguhnya Allah menyuruhmu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menghukum di antara manusia, maka hendaklah kamu menghukum dengan adil.” Negara harus memastikan keadilan dalam segala aspek kehidupan, termasuk distribusi kekayaan dan sumber daya.

 

Exit mobile version