Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Pemerintah akan menetapkan secara permanen relaksasi harga eceran tertinggi atau HET beras premium dan medium mulai Juni 2024. Kenaikan HET ini disebut tidak berimbas terhadap konsumen. Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menyampaikan, kenaikan HET beras sebetulnya hanya formalitas sebab pada kenyataannya harga beras sudah lama bergerak di level Rp13.000 per kilogram hingga Rp15.500 per kilogram, baik untuk jenis premium maupun medium.(bisnis..com, 22/5/2024).
Dikutip dari Bloombergtechnoz, 24/5/2024, ekonom pertanian dari Center of Reform on Economics (Core) Eliza Mardian menyatakan bahwa kebijakan HET beras sebenarnya lebih menguntungkan sisi pedagang besar alih-alih petani, yang justru tengah merasakan penurunan harga gabah secara signifikan. Jika HET beras naik, sedangkan harga pembelian gabah tidak naik, daya beli petani akan tergerus. Faktanya, lagi, harga gabah di level petani justru anjlok, meski Bulog sudah menetapkan HPP gabah kering dengan harga lebih tinggi dari sebelumnya.
Dua fakta ini sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa rakyat sudah terbiasa menerima keputusan-keputusan yang tidak berpihak pada mereka. Baik sebagai rakyat konsumen murni beras itu sendiri maupun sebagai petani yang berperan sebagai produsen yang jungkir balik mengolah sawah hingga menghasilkan bulir padi. Naiknya HET beras telah menjadi hal biasa di tengah selalu tercekiknya rakyat dengan beban hidup yang tak redup-redup.
Keberadaan Beras Bagi Rakyat Indonesia
Bagi kebanyakan orang Indonesia, jika belum makan nasi, konon ada anggapan ‘belum makan’ sekalipun sudah memakan makanan berat lainnya. Hampir di seluruh masyarakat Indonesia, beras masih merupakan makanan pokok pilihan di antara bahan makanan pokok lainnya. Hampir di setiap rumah beras wajib ada. Jika HET beras dinaikkan, kelompok masyarakat yang paling terbebani dengan kebijakan tersebut adalah rakyat miskin. Sebelum HET naik saja sulit bagi mereka untuk dapat beras, apalagi dengan HET yang naik.
Ditambah lagi, keberpihakan negara kepada rakyat miskin belum dirasa. Setiap kebijakan yang ditetapkan, imbasnya rakyat kecillah yang merasakan. Kalaupun ada bansos, 25,90 juta penduduk miskin di Indonesia (menurut catatan BPS) belum tentu mendapatkan bantuan secara rutin. Adamya kasus bansos tidak tepat sasaran serta korupsi dana bansos hingga miliaran, semakin menihilkan sampainya beras kepada rakyat miskin.
Demikian juga terkait petani sebagai tokoh utama produksi beras di lahannya. Naiknya HET beras tidak selalu meningkatkan kesejahteraan mereka. Saat panen belum tentu mereka suka cita karena kenaikan permanen HET beras tidak diimbangi dengan kebijakan penaikan harga pokok pembelian (HPP) gabah. Wajarlah jika idak orang tidak mau menjadi petani. Lalu jika tidak ada lagi petani pada masa mendatang, Dari mana lagi negeri mendapat beras. Akhirnya bergantung pada impor lagi. Banyaknya petani yang menjual sawah mereka karena lesunya pemasukan dari bertani, menjadi bahan krisis pangan nasional terkait beras.
Nasib petani pun miris campur tragis jika sebagai negara agraris kebijakan negara perihal pangan masih percaya pada sistem kapitalistis. Alih-alih petani bahagia saat mengolah lahannya untuk hasilkan beras, dan rakyat tidak khawatir dengan ketersediaannya, yang terjadi nasib tak manis untuk petani juga rakyat miskin.
Paradigma Islam Terkait Pangan