Oleh: Ummu Fajri
Setiap orang pasti ingin hidup layak dan memiliki segalanya. Hal itu menjadi sebuah cita-cita yang ingin segera diwujudkannya. Hanya saja, banyak di antara kita yang tidak sabar dengan proses yang harus dilaluinya. Alhasil, jalan pintas pun diambil meskipun harus menabrak rambu-rambu aturan agama.
Hal itulah yang kini dilakukan oleh sebagian anggota dewan. Mereka adalah para wakil rakyat terpilih yang baru saja dilantik untuk periode 2024–2029. Pelantikan tersebut ternyata menjadi sebuah jalan kemudahan untuk mendapatkan uang dengan cara instan.
Fenomena di atas terjadi di Serang, Banten, Jawa Barat.
Beberapa orang dari anggota DPRD kota tersebut disinyalir telah menggadaikan SK-nya untuk memperoleh pinjaman di bank.
Sekretaris DPRD Serang, Ahmad Nuri, menjelaskan bahwa ada 5–10 orang yang meminta surat permohonan pinjaman. Menurutnya, hal itu merupakan hak bagi anggota dewan. Lebih lanjut, Nuri juga menyampaikan bahwa tidak ada larangan bagi mereka untuk menggadaikan SK pelantikan. Nuri pun beralasan bahwa pihaknya hanya menjalankan tugas yaitu memberikan kemudahan dalam setiap pelayanan.
Fakta yang sama juga terjadi di Malang, Jawa Timur. Di kota ini 17 orang wakil rakyat yang duduk di DPRD datang ke bank dengan alasan yang tak jauh berbeda yaitu mengajukan pinjaman.
( merdeka.com, 6-9-2024)
Sebuah Budaya
Apa yang dilakukan oleh para wakil rakyat tersebut merupakan budaya yang sudah mengakar di tengah-tengah masyarakat saat ini. Budaya yang dimaksud tidak lain dan tidak bukan adalah berhutang atas nama kebutuhan diri. Ditambah lagi dengan kemudahan persyaratan membuat mereka tak perlu berpikir berkali-kali. Gayung pun bersambut, transaksi pun akhirnya terjadi.
Berhutang memang bukan hal yang memalukan. Namun, harus dipikirkan dulu bahwa hutang tersebut benar-benar dibutuhkan. Apabila hal itu hanya untuk memenuhi keinginan yang tak begitu penting, alangkah baiknya budaya tersebut ditinggalkan. Sayangnya, pemikiran tersebut merupakan sesuatu yang susah untuk dilaksanakan.
Apa yang dilakukan oleh para anggota dewan memang patut dipertanyakan. Mengapa mereka begitu berambisi untuk segera menggadaikan SK pelantikannya ke bank?
Benarkah hal itu karena terdesak kebutuhan? Ataukah ada hal lain yang membuat mereka harus segera mengajukan pinjaman?
Fakta yang Memprihatinkan
Gadai SK berjemaah yang dilakukan oleh para wakil rakyat merupakan fakta yang memprihatinkan. Bukankah gaji para abdi negara tersebut tembus di angka puluhan juta?
Mengutip dari laman BantenNews.co.id, pada 7-9-2024, para anggota DPRD Kabupaten Serang yang baru dilantik akan memperoleh gaji dan tunjangan sebesar Rp40 juta setiap bulan.
Nominal tersebut juga sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan pelayanan. Lantas, mengapa mereka harus memaksakan diri pinjam uang ke bank? Benarkah uang sebesar itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan? Bila demikian, tentu terbayang betapa besar kebutuhan hidup yang harus dikeluarkan.
Terjebak Gaya Hidup Hedonisme
Memenuhi kebutuhan hidup memang memerlukan biaya yang besar. Hal itu menjadi hal yang dialami oleh setiap orang. Namun, semuanya bisa disiasati dengan mementingkan sesuatu yang benar-benar dibutuhkan. Hanya saja, sebagian orang lebih mengedepankan keinginan yang sebenarnya tidak harus disegerakan. Alhasil, uang yang seharusnya cukup untuk hidup ternyata tidak cukup karena dipakai untuk memenuhi gaya hidup yang berlebihan.
Gaya hidup memang tidak bisa dilepaskan dari kondisi masyarakat saat ini. Atas nama eksistensi diri, mereka berusaha keras untuk diakui. Pengakuan tersebut menjadi keniscayaan ketika terpenuhi dengan materi. Bisa ditebak, apa pun pasti akan dilakukan agar mereka bisa eksis dengan gaya hidup masa kini.
Hal itu membuat mereka berusaha keras untuk memenuhi semua keinginannya dengan meminjam uang ke bank. Fasilitas yang mudah dan pelayanan yang tak berbelit-belit pun menjadi poin penting dalam memenuhi persyaratan yang diajukan.
Riba dan Jebakannya
Kemudahan yang didapatkan oleh anggota dewan membuat mereka merasa mendapat pembenaran untuk menggadaikan SK pelantikan. Hal itu tentu menjadi sebuah fakta yang tak terbantahkan. Bagaimana tidak? Dengan menggadaikan SK, para wakil rakyat tersebut setuju untuk menerima semua persyaratan pengambilan pinjaman uang dengan akad ribawi yang melanggar aturan Islam.
Fenomena di atas membuat mereka harus mengembalikan uang pinjaman dengan tambahan yang melebihi dari nominal. Hal itu berbanding lurus dengan pengertian riba.
Riba adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan).
Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.