Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Berdasarkan survei BI bahwa hari ini harga rumah makin mahal sehingga makin jauh dari jangkauan rakyat miskin. Bahkan, kalangan menengah saja sulit untuk memiliki rumah. Mayoritas (75%) harus membeli rumah melalui mekanisme KPR karena tidak mampu membeli secara tunai. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui bahwa masyarakat Indonesia makin sulit untuk memiliki rumah. (CNBC Indonesia, 8/7/2022). Kenaikan suku bunga akibat inflasi menjadikan masyarakat semakin sulit untuk memiliki rumah.
Dari survei Bank Indonesia (BI) menunjukkan adanya kenaikan harga properti residensial di pasar primer pada kuartal I 2024. Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) meningkat mencapai 1,89% (yoy) pada kuartal I 2024. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan IHPR pada kuartal IV 2023 yang sebesar 1,74%.
Program rumah murah yang ditawarkan sebagai sebuah solusi dari pemerintah, ternyata belum bisa atasi pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat. Contohnya saja seperti yang dilansir dari Detik 2/5/2024, perumahan Villa Kencana, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat yang diresmikan Jokowi pada 2017. Rumah tersebut diperuntukkan masyarakat berpendapatan rendah (MBR) dengan uang muka sekitar Rp1,12 juta dan cicilan sekitar Rp750 ribu—900 ribu per bulan. Namun, kini kondisinya banyak yang kosong tidak berpenghuni dan bangunan dalam kondisi rusak karena tidak terurus.
Selain karena adanya inflasi, yang menyebabkan naiknya harga bahan bangunan dan jasa tukang, menjadikan biaya pembangunan rumah makin meningkat, ditambah lagi harga lahan juga meningkat, ada faktor krusial lainnya. Dominasi swasta dalam penyediaan rumah menjadi momok menyertai ketersediaan perumahan. Walhasil harga rumah selalu dikendalikan oleh pihak pengembang swasta. Naik turunnya harga rumah dikendalikan suka-suka, demi profit yang menakjubkan.
*Negara Kehilangan Peran*
Dengan dominasi swasta dalam pengembangan penyediaan rumah, negara seakan kehilangan peran. Negara hanya sebagai regulator. Padahal para pengembang ini sebenarnya mendapatkan pinjaman modal dari pemerintah untuk membeli lahan, namun selanjutnya mereka mematok harga tinggi untuk perumahan yang mereka tawarkan. Selain itu mereka pun mendapatkan lahan dengan lokasi yang strategis untuk membangun, padahal di saat yang sama banyak rakyat digusur dari tempat tinggalnya. Jiwa kapitalis memang sulit untuk memudahkan rakyat dalam berbagai hal termasuk untuk memiliki rumah. Dengan karpet merah bisnis, mereka lapang berusaha, namun raja tega mencekik rakyat dengan mematok tinggi harga rumah yang diperjualbelikan.
Melihat kondisi negara seakan berlepas tangan. Padahal rumah merupakan kebutuhan pokok setiap orang. Seharusnya negara menjamin pemenuhannya. Realitanya, banyak rakyat yang tidak memiliki rumah. Jangankan rumah tak layak tinggal, untuk tinggal pun seakan tidak ada tempat untuk rakyat. Rakyat menghuni ruang yang bukan untuk berlindung sebagai rumah, namun mereka hidup nomaden di ruang-ruang yang tak layak untuk dijadikan tempat bermukim.
Fenomena ini sungguh nyata di negeri ini. Kolong jembatan, bantaran sungai, gubuk-gubuk kardus di emperan, rumah-rumah petak kumuh di gang sempit padat penduduk yang tidak layak huni serta tak sehat bahkan rawan bencana, banyak dihuni oleh sebagian rakyat negeri ini.
*Paradigma Islam dalam Realisasi Layanan Tempat Tinggal (rumah)*