Oleh : Martinah S.Pd
Harga beras makin memanas hingga akhirnya pemerintah menentukan harga eceran tertinggi (HET) untuk makanan pokok yang berasal dari padi. Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengambil keputusan ini untuk menguatkan kebijakan relaksasi yang sudah berlaku.
Selain itu, hal tersebut diakui sebagai upaya stabilisasi pasokan dan harga beras. Pemerintah berusaha agar kebijakan di hulu (tingkat petani) sama dengan di hilir (tingkat konsumen). Perbadan No. 5/2024 mengatur bahwa kenaikan harga beras di konsumen ditentukan berdasarkan wilayah. Beras medium HET paling rendahnya Rp12.500 dan beras premium HET paling rendah Rp14.900.
Pada kesempatan berbeda, ternyata impor Indonesia untuk beras umum dan khusus telah mencapai 4,04 juta ton yang terdiri dari 3,6 juta ton beras umum dan 400 ribu ton.
Pemerintah menganggap pematokan harga beras ini untuk melindungi produsen dan konsumen. Dengan begitu, harapannya harga beras akan stabil dan tidak bertambah tinggi. Selain itu, upaya ini digadang-gadang sebagai salah satu cara melindungi harga pasar dari distributor-distributor nakal yang suka mempermainkan harga.
Namun, kenaikan HET beras ini ternyata lumayan banyak. Beras medium yang awalnya memiliki HET Rp10.900, naik menjadi Rp12.500. Sedangkan beras premium yang harga mulanya Rp13.900, naik jadi Rp14.900. Kenaikan ini tentu membuat masyarakat merasakan mahalnya beli beras. Ini mengingat kondisi ekonomi sekarang yang tidak karuan.
Sebagaimana kita ketahui, saat ini cukup sulit untuk mencari kerja dengan gaji memadai. Kalaupun sudah ada kerja, tidak ada kenaikan gaji yang signifikan. Di sisi lain, harga-harga kebutuhan pokok semua naik. Di tengah situasi ini, masyarakat tentu akan menghemat pengeluaran, termasuk mengganti konsumsi beras, mulai dari premium ke medium, bahkan ke beras dengan kualitas biasa.
Jika dahulu masyarakat dengan uang Rp10.900 sudah bisa menikmati beras medium, saat ini harus menambah Rp1.600/kg agar bisa mendapatkan beras medium. Meski kenaikan kelihatan tampak kecil, tetap saja memberatkan masyarakat. Pasalnya, yang naik tidak hanya beras, tetapi komoditas lainnya juga ikut melejit.
Masyarakat kelas bawah juga tidak lagi berpikir bisa makan beras enak. Bisa menikmati nasi setiap hari saja sudah bersyukur. Bahkan, untuk menghemat pengeluaran, mereka mencampur beras dengan ketela (gaplek) atau jagung. Kondisi semacam ini menunjukkan bahwa kenaikan HET beras itu justru menambah sulit masyarakat untuk mendapatkan beras enak, bahkan mustahil bagi masyarakat bawah untuk membelinya.
Tidak perhatian pemerintah memang mengeklaim bahwa penentuan harga beras ini telah mengalami proses panjang. Namun, tetap saja kenaikan yang tidak manusiawi ini menunjukkan jika ukuran pengambilan keputusan bukanlah pertimbangan rakyat bisa makan atau tidak, tetapi untung atau rugi.
Beras dengan kualitas baik dijual dengan harga tinggi, sedangkan rakyat biasa hanya makan beras impor dengan kualitas biasa. Dari sini kita bisa tahu siapa yang diuntungkan sebenarnya. Jelas para importir dan distributor yang akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar.