Oleh Ummu Kholda
Pegiat Literasi
Beras merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat di Indonesia yang akan menjadi masalah jika terjadi kelangkaan. Oleh karena itu, negara wajib menjamin ketersediaannya dengan harga yang terjangkau, jangan sampai mematok harga yang pada akhirnya akan menyulitkan rakyat.
Sayangnya, beberapa waktu lalu, pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) justru resmi menerbitkan Peraturan Bapanas (Perbadan) tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras medium dan premium. Dengan terbitnya peraturan tersebut, maka kenaikan beras yang ditetapkan melalui relaksasi HET sebelumnya menjadi berlaku permanen.
Relaksasi itu menaikkan HET beras premium yang sebelumnya Rp13.900 per kg, menjadi Rp14.900 per kg untuk wilayah Jawa, Lampung, dan Sumatera Selatan. Tidak hanya beras premium, HET beras medium juga direlaksasi dari sebelumnya Rp10.900 per kg menjadi Rp12.500 per kg.
Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi menegaskan bahwa penyesuaian HET beras tidak terpisahkan dari upaya stabilisasi pasokan dan harga beras, dimana kebijakan di hulu (tingkat petani) juga selaras dengan di hilir (tingkat konsumen). Ia juga berharap kebijakan ini akan membawa keseimbangan di tingkat petani dan konsumen, sebagaimana yang sering disampaikan oleh Pak Presiden. (Tirto.id, 7/6/2024)
Kapitalisme Menyengsarakan Rakyat
Naiknya harga beras, tentu menjadi masalah bagi rakyat. Hidup pun kian sulit, rakyat tambah sengsara lagi menderita. Apalagi sebagian besar penduduk negeri ini hidup di bawah garis kemiskinan. Sejatinya, kemiskinan yang berujung kelaparan akan berdampak pada bertambahnya angka kriminalitas, seperti pencurian, pembegalan, pembunuhan, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan beras berkaitan erat dengan kebutuhan yang harus segera dipenuhi, karena jika tidak segera dipenuhi tak sedikit manusia bisa gelap mata.
Kemiskinan juga akan berdampak pada rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). SDM yang rendah hanya mendekatkan bangsa ini dengan penguasaan bangsa-bangsa lain. Hal ini jelas berbahaya, karena akan mengancam kedaulatan negeri ini.
Di sisi lain, alasan pemerintah menyelaraskan harga di hulu dan di hilir, menunjukkan bahwa pemerintah enggan memikirkan masalah rakyat dan menyelesaikannya hingga tuntas. Bahkan pemerintah dengan mudahnya mematok harga beras di tengah beratnya beban ekonomi rakyat.
Inilah, keniscayaan yang terjadi dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme sekuler. Sistem yang berasaskan pada keuntungan dan lebih berpihak kepada para pemilik modal. Selain itu, sistem ini juga meminimalisasi peran negara dalam mengurusi rakyat, akan tetapi lebih memperbesar peran swasta. Hal ini membuat kelompok-kelompok swasta dan korporasi saling bersaing dalam meraih keuntungan, bahkan tidak peduli jika itu berkaitan dengan pemenuhan hak dasar rakyat.
Ditambah lagi sekularisme, yakni paham yang memisahkan agama dari kehidupan telah nyata meminggirkan peran agama. Terbukti beras yang merupakan kebutuhan dasar, harganya semakin naik, rakyat pun kian sulit.