Oleh: Dwi Ummu Riefta
(Aktivis Muslimah)
Air adalah salah satu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia. Sekitar 70 % kebutuhan hidup manusia bergantung pada air. Namun, hampir 80 juta masyarakat Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan air minumnya dengan baik.
Kebutuhan akan air terus meningkat sementara ketersediaan air semakin menurun. Debit air juga semakin menurun setiap tahunnya, namun kebutuhan masyarakat akan air tidak bisa lagi ditunda. Hal ini menandakan bahwa sumber daya air merupakan bagian dari hak dasar manusia.
Air juga diperlukan manusia untuk pengairan pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri. Berdasarkan data di LIPI tahun 2012, sekitar 20 persen dari total penduduk Indonesia yang dapat mengakses air bersih berada di wilayah perkotaan. Sementara sisanya, rakyat Indonesia masih mengonsumsi air yang tak layak secara tinjauan kesehatan. Penting diketahui, tingkat akses air bersih penduduk pedesaan di Indonesia adalah 69 persen, itu lebih rendah daripada Malaysia, 94 persen atau Vietnam, 72 persen, padahal Indonesia kaya sumber air.
PBB juga mengakui air yang merupakan barang publik sebagai bagian dari hak asasi manusia. Sebagaimana hak-hak asasi manusia lainnya, negara wajib untuk menjamin pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak tersebut. Menurut Habibullah, anggota Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), air berkaitan dengan hak hidup seorang manusia, sehingga air tidak bisa dilepaskan dalam kerangka hak asasi manusia padahal, UUD 1945 jelas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Untuk menjamin penguasaan air oleh negara yang benar-benar ditujukan bagi kemakmuran rakyat, sangat diperlukan suatu aturan yang jelas dan tegas dalam mengatur hak pengelolaan air.
Privatisasi Air
Sejarah privatisasi air di Indonesia dimulai dari keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan air bersih. Hal tersebut terjadi di tahun 1990-an seiring semakin menurunnya peran pendanaan dari pemerintah pusat. Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu, 18 Februari 2015, telah membatalkan secara keseluruhan UU Nomor 7 Tahun 2004 melalui pengujian yang dilakukan Muhammadiyah, Al Jami’yatul Washliyah, sejumlah organisasi massa, dan beberapa pemohon perseorangan. Ketua Hakim menilai UU Sumber Daya Air tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air.
Masalah air yang merupakan barang publik dan sangat penting dipandang menjadi barang ekonomi yang menggiurkan untuk dikomodifikasi, diprivatisasi, dan dikomersialkan oleh tangan swasta. Kebijakan pemerintah berkenaan dengan privatisasi air ini pun tidak sejalan dengan amanat pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Akhirnya air minum kemasan pun menjadi pilihan. Rakyat rela membayar (mahal), karena kepraktisan dan juga anggapan bahwa air kemasan lebih higienis dibanding air PDAM. Dari masyarakat perkotaan hingga pedesaan, bisa kita lihat sendiri lebih memilih air minum kemasan dibanding mendidihkan air sendiri untuk dipakai minum.