Oleh. Mila Ummu Rafa
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 Kota Bekasi telah usai. Ingar-bingar pesta demokrasi pun mereda. Namun, siapa yang menduga jika hasil quick count menunjukkan bahwa angka partisipasi pemilih dalam Pilkada Bekasi termasuk rendah.
Hal ini diungkapkan oleh Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bekasi Afif Fauzi. Afif mengatakan jumlah partisipasi pemilih yang datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) hanya sekitar 50 sampai 60 persen dari total jumlah pemilih. Padahal, Kota Bekasi menargetkan partisipasi pemilih Pilkada 2024 ini sebesar 79%, di mana target ini lebih tinggi dari Pilkada 2018, yakni sebesar 74% (Kompas.com, 28-11-2024).
Rendahnya jumlah pemilih pada Pilkada Kota Bekasi tentu patut dipertanyakan. Apa yang menyebabkan masyarakat enggan berpartisipasi pada pemilihan kepala daerah?
Golput Tinggi, Mengapa?
Rendahnya jumlah pemilih pada Pilkada Kota Bekasi 2024 memang mencengangkan. Titi Anggraini, pakar hukum Pemilu dari Universitas Indonesia mengungkapkan berbagai alasan yang melatarbelakangi rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada tahun ini. Ia mengungkapkan bahwa tingginya angka golput dalam Pilkada diakibatkan oleh kelelahan dan kejenuhan yang menimpa para penyelenggara Pemilu, partai politik, serta masyarakat. Kondisi ini terjadi akibat Pemilu diselenggarakan secara serentak, berturut-turut, yaitu pemilihan presiden kemudian pemilihan kepala daerah.
Selain itu, pencalonan ini dianggap tidak mewakili aspirasi masyarakat daerah dan cenderung sentralis, di mana keputusan berada di tangan pengurus partai politik. Dengan kata lain, calon dan pasangan calon yang diusung oleh partai tidak merefleksikan (mewakili) aspirasi rakyat. Terlebih lagi tak ada penanganan hukum yang berarti, meskipun banyak ditemukan pelanggaran terkait money politic dengan beragam bentuk dan modus.
Pendapat serupa juga dilontarkan oleh ketua DPP PDI Perjuangan Dedi Sitorus. Menurutnya, tingginya angka golput pada Pilkada 2024 merupakan bentuk kekecewaan masyarakat terhadap kualitas penyelenggaraan Pemilu yang bukan berdasarkan kehendak/aspirasi publik.
Demokrasi Mulai Tak Diminati
Berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh elite politik, mayoritas masyarakat merasa tak akan ada perubahan apabila mereka ikut mencoblos atau tidak. Skeptis dan rasa pesimis terhadap calon pemimpin dengan janji-janji manis yang diberikan adalah alasan dominan yang diungkapkan publik.
“Siapa pun pemimpinnya, tidak berpengaruh pada rakyat kecil”.
Begitulah sikap apatis yang ditunjukkan masyarakat yang lebih memilih golput. Hilangnya kepercayaan akan sosok calon pemimpin selalu mewarnai setiap ajang pesta demokrasi. Kalangan anak muda apalagi, mereka menganggap bahwa politik itu kotor dan memilih untuk menghindari pembahasan politik.
Realitas ini dianggap dapat mencederai proses demokrasi. Namun, seyogianya bisa menjadi refleksi bahwa demokrasi mulai kehilangan kepercayaan publik. Berbagai fakta terkait bobroknya sistem demokrasi sedikit demi sedikit mulai terpampang di depan mata. Demokrasi yang katanya kedaulatan ada di tangan rakyat, nyatanya hanyalah bualan yang tak akan mungkin terwujud. Faktanya, suara rakyat hanya dibutuhkan untuk mendulang dukungan saat menjelang Pemilu.