OpiniOpini

Gerundel Idle Kapitalisme Kian Bandel

185
×

Gerundel Idle Kapitalisme Kian Bandel

Sebarkan artikel ini

Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia berencana merevitalisasi sumur minyak yang saat ini menganggur alias tidak aktif atau idle. Hal ini dilakukan sebagai upaya pemerintah dalam menggenjot produksi minyak nasional.

Bahlil menilai bahwa pemanfaatan sejumlah sumur minyak selama ini masih kurang optimal. Adapun, dari total 44.900 sumur minyak yang ada, setidaknya hanya 16.300 sumur yang berproduksi (CNBC Indonesia, 26-08-2024).

Gerundel penguasa terkait idle, dengan mengangkat issue reaktivasi sumur menganggur yang dianggap merupakan salah satu langkah strategis untuk meningkatkan ketahanan energi nasional, dan berharap dapat mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan devisa negara, menyeret wacana pemenuhan kepentingan tersebut pada ranah investasi asing.

Ya, lagi-lagi, apa pun rencana pemenuhan di negeri ini tak jauh dari kolaborasi dengan para kapitalis. Terkait idle ini pun, pemerintah berencana menawarkan pengelolaan sumur yang menganggur kepada para investor dari dalam maupun luar negeri. 5.000 sumur yang bisa dioptimalkan dianggap dapat meningkatkan pendapatan negara jika diserahkan pengelolaannya pada swasta nasional atau asing.

Negeri Konoha seakan tidak punya cara lain selain melemparkan semua pemenuhan pada jerat kapitalis. Bayangkan, akan makin bandel kapitalisme ini saat ruang keserakahan untuknya kembali dibuka lebar. Kebandelan yang diberikan tempat leluasa.

Menelisik Gerundel Iddle Penguasa Konoha Terkait Ketahanan Energi

FYI, saat ini produksi minyak di bawah 600 ribu barel per hari (bph), padahal target yang ditetapkan dalam APBN 2024 sebesar 635 ribu bph. Produksi ini jauh dari konsumsi minyak yang saat ini mencapai 1,5-1,6 juta bph.

Selama ini kekurangannya dipenuhi dari impor. Oleh karena itu, sumur-sumur menganggur yang dikuasai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan dicabut izinnya jika tidak diaktifkan.

Baiklah, upaya ini seakan memang bagai solusi yang diberi penguasa untuk atasi beban impor dan ketahanan energi. Namun, coba kita intip behind the fact. Saat bicara tentang sumur, yang dipermasalahkan adalah sumur yang dikuasai KKKS yang jumlahnya sedikit.

Padahal data menunjukkkan bahwa 65% lifting minyak berasal dari PT Pertamina (Persero), sedangkan 25% dari ExxonMobil, dan hanya 10% yang berasal dari KKKS kecil. Di antara semua sumur KKKS yang berjumlah sebanyak 44.900, hanya 16.300 sumur yang berproduksi, sedangkan 16.150 sumur menganggur dan 5.000 sumur tidak dioptimalkan.

Pertanyaannya, sumur nganggur yang hanya bagian kecil dari ekosistem hulu migas apakah akan dilirik oleh perusahaan besar? Tentunya tidak. Yang tertarik hanya investor yang memiliki fokus untuk mengimplementasikan teknologi yang dimiliki dan merupakan pemain kecil. Pemain besarnya hanya tertarik pada wilayah kerja yang ada sumur dan reservoir.

Padahal secara faktual jumlah sumur menganggur (idle well) di Indonesia banyak, tetapi jika pemerintah hanya menawarkan sumur dalam jumlah kecil, pengelolaannya menjadi tidak akan efektif. Dengan prediksi penambahan produksi yang hanya 1.000—2.000 bph, target lifting minyak sebesar satu juta bph pada 2030, kemudian ada niat menjual sumur minyak yang menganggur, secara signifikan meningkatkan produksi minyak menjadi jauh panggang dari api. Pemain kecil yang menggarap sumur menganggur pun pada akhirnya tidak punya modal. Akhirnya mereka menjual kembali sumur tersebut.

Pertanyaan berikutnya lagi, mengapa Pertamina EP sebagai penguasa minyak menguasai lapangan seluas 114.000 kilometer persegi, namun produksinya hanya 70.000 bph? Padahal luasnya mencapai 80% dan memiliki potensi yang besar. Bahkan di area tersebut datanya sudah banyak, sudah ada pengeboran dan sudah ada yang produksi sehingga risikonya lebih kecil, tinggal diefektifkan saja. Intinya, pengelolaan yang sudah dan sedang dijalani tidak efektif.

Negara Konoha gagal fokus. Negara bukannya mengefektifkan lapangan yang dikuasai Pertamina dengan kekuatan sendiri, namun malah sibuk menjual sumur menganggur milik KKKS yang terkategori kecil. Hal ini menegaskan bahwa negara nihil visi untuk mewujudkan ketahanan energi. Negara malah menyerahkan pengelolaan minyak kepada investor, padahal BBM merupakan hajat hidup rakyat yang sangat penting dan strategis.

Jika saja negara fokus pada peningkatan kinerja produksi minyak Pertamina sehingga bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri, bukan malah menggandeng perusahaan Cina Sinopec untuk masuk ke lima lapangan Pertamina dengan teknologi peningkatan produksi demi menggenjot produksi minyak nasional (Rantau, Tanjung, Pamusian, Jirak, dan Zulu), negara pasti mampu mewujudkan kedaulatan energi.

Jika wilayah yang luas tersebut efektif dikelola mandiri oleh negara, tentu hasilnya akan lebih signifikan untuk menggenjot produksi minyak nasional. Kebutuhan nasional pun tentu bisa terpenuhi. Tragisnya, negara lalai, abai, lepas tangan.

Kebijakan khas kapitalisme yang hanya mementingkan keuntungan materi, telah menepis yang lebih politis dan ideologis, yaitu membangun kedaulatan energi negara. Menyerahkan tambang minyak ke swasta menunjukkan kelemahan negara untuk membangun industri tambang minyak secara mandiri. Negara seakan malas membangun industri tambang secara mandiri. Malas menyiapkan SDM, teknologi, riset, dan risiko yang harus ditanggung yang semuanya butuh dana yang sangat besar. Menggandeng swasta dianggap lebih mudah karena tidak perlu repot-repot melakukan hal-hal tersebut.

Apa namanya kebijakan pejabat yang enggan repot untuk mengurus negara. Apa julukannya, untuk negara yang hanya menginginkan keuntungan untuk diri dan kroninya. Cukup seksi kah sistem kapitalisme mencetak para pejabat yang abai terhadap rakyat dan sibuk berkhidmat pada para kapitalis, hingga telanjang pun rela asal cuan tetap melenggang memasuki pundi para tuan-tuan kapital?

Gerundel idle terlalu berisik dan mengusik nasib negeri. Resonansi kapitalisme terlalu keras merobek gendang telinga rakyat yang sudah sekian lama bertahan menanggung derita. Beban yang tidak pernah diakhiri secara baik oleh sistem busuk di negeri ini, akibat sistem kapitalisme yang telah mencetak para pejabat yang abai terhadap rakyat dan sibuk berkhidmat pada para kapitalis pemilik modal.

Tata Kelola Minyak dalam Islam

Sungguh Islam memiliki konsep yang sangat bagus terkait memutuskan kebijakan pemenuhan kebutuhan Rakyat. Dalam urusan-urusan yang membutuhkan keahlian dan pengetahuan, Islam mengharuskan untuk merujuk kepada ahlinya.

Dengan demikian untuk mewujudkan kedaulatan negeri terkait minyak, seharusnya pemerintah mengundang para ahli industri perminyakan dan berunding dengan mereka tentang upaya yang efektif untuk mewujudkan kedaulatan energi. Hasilnya harus diperhatikan dan dijalankan oleh penguasa/pejabat sehingga bisa menyolusi masalah ketergantungan Indonesia terhadap impor minyak.

Sayangnya, pejabat yang amanah dan mampu berpikir politis strategis ini tidak mungkin terwujud di dalam sistem kapitalisme yang berasaskan sekularisme. Kapitalisme justru mendoktrin agar negara lepas tangan dari pemenuhan hajat rakyat dan menyerahkannya pada swasta. Pemerintah cukup membuka investasi dan kerja sama seluas-luasnya dengan swasta, lantas menikmati keuntungannya.

Jika sistem kapitalisme memosisikan SDA sebagai komoditas ekonomi yang boleh dikuasai individu (swasta), hingga terjadilah obral pemberian hak pengelolaan tambang oleh penguasa kepada para kapitalis, maka rakyat kehilangan hak akses terhadap SDA tersebut.

Rakyat harus membayar mahal untuk bisa menikmati hasil SDA seperti BBM dan lainnya. Walhasil ekonomi negara pun dikuasai para kapitalis. Rakyat tidak mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran sekalipun memiliki SDA yang melimpah.

Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam negara memiliki konsep kepemilikan dan mekanisme pengelolaan SDA yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Karena aturannya berasal dari Sang Pencipta, maka pengelolaan ini akan membawa kesejahteraan dan keberkahan bagi seluruh rakyat.

Minyak yang terkategori harta milik umum,  telah ditetapkan kepemilikannya oleh Asy-Syari’ (Allah Swt. dan Rasul-Nya) bagi kaum muslim. Syarak hanya membolehkan manusia mengambil manfaat dari harta tersebut, tetapi dilarang untuk memilikinya secara pribadi (Syekh Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Negara Khilafah).

Dari Abyad bin Hamal al-Mazaniy,

Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, salah seorang lelaki yang ada di majelis berkata, ‘Apakah Anda mengetahui apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah Anda berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir.’ Akhirnya beliau bersabda, ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya.’’ (HR Tirmidzi).

Berdasarkan hadis ini, Rasulullah saw. meminta kembali tambang garam yang telah beliau berikan kepada Abyad bin Hamal setelah beliau mengetahui bahwa jumlah depositnya sangat banyak dan tidak terbatas. Hadis ini merupakan dalil larangan individu (swasta) untuk memiliki tambang yang jumlah depositnya besar karena merupakan milik seluruh kaum muslim. Dengan demikian, tambang minyak yang depositnya besar terkategori milik umum sehingga haram dimiliki individu. Negara wajib melakukan eksploitasi barang tambang tersebut mewakili kaum muslim, kemudian hasilnya digunakan untuk memelihara urusan-urusan mereka.

Negara Islam harus menerapkan konsep kepemilikan dalam Islam. Dalam Islam tambang minyak merupakan milik rakyat dan negaralah yang mengelolanya untuk kemakmuran rakyat. Pengelolaannya dilakukan secara profesional dengan kesiapan paripurna termasuk teknologi, untuk merealisasikan pengelolaan tersebut.

Dalam sistem Islam, negara akan membangun industri perminyakan secara mandiri. Campur tangan asing sangat dihindari. Industri berat pun dibangun untuk memproduksi alat-alat yang dibutuhkan dalam industri minyak. Dengan demikian impor alat berat tidak terjadi.

Demikian juga dengan SDM untuk industri alat maupun industri minyak. Negara akan menyiapkannya. Melalui sistem pendidikan terbaiknya, negara mencetak para ahli yang amanah di bidang perminyakan. Negara akan mempekerjakan SDM lokal yang saat ini banyak bekerja di perusahaan asing dengan memberi gaji yang layak sesuai dengan manfaat yang mereka berikan dalam pekerjaannya. Kalaupun dibutuhkan SDM ahli dari warga negara asing, dalam Islam negara akan mempekerjakannya dengan upah layak untuk melakukan pekerjaan dan sekaligus mentransfer ilmunya pada tenaga kerja lokal sehingga terjadi peningkatan skill. Sedangkan untuk pekerja kasar, negara tidak akan merekrut dari warga negara asing, melainkan mempekerjakan warga lokal.

Dalam membiayai perindustrian nya pun sistem Islam akan menguiayakannya sedemikian rupa dari baitulmal. Pada saat industri sudah berproduksi, maka industri bisa membiayai dirinya sendiri dan menghasilkan keuntungan jika diekspor. Ekspor dilakukan jika kebutuhan dalam negeri sudah tercukupi dan masih ada sisa produksi. Keuntungan ekspor akan dimasukkan ke baitulmal untuk memenuhi berbagai kebutuhan kaum muslim.

Dalam sistem Islam, pengelolaan tambang minyak dengan syariat Islam sangat menguntungkan rakyat. Rakyat bisa mendapatkan hasil pengelolaan minyak berupa BBM dengan harga murah sebatas biaya produksi dan distribusi. Negara tidak mengambil keuntungan dari penjualan BBM kepada rakyat sebagaimana dalam sistem kapitalisme yang melulu pada profit.

Dalam sistem Islam, negara akan berusaha mewujudkan peningkatan produksi minyak dengan manajemen yang bagus dan menggunakan teknologi tercanggih sehingga eksploitasi lapangan minyak yang ada bisa efektif. Untuk itu akan dipilih para pejabat dan pekerja yang amanah dan kompeten di bidangnya.

Eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumber minyak yang belum digarap selama ini pun pelakunya adalah negara. Bukan individu, swasta atau asing. Jika ada kesulitan karena lokasinya di perairan dalam, teknologi tercanggih digunakan untuk menyolusinya.

Negara akan mengeluarkan effort yang tak tanggung-tanggung serta mengeluarkan dana untuk eksplorasi dan eksploitasi karena semuanya ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Bukan malah gerundel komat kamit tak jelas arah bahkan pasrah pada asing aseng.

Dalam sistem Islam profil penguasa dan sistem sahih mampu mewujudkan seluruh standar sejahtera bagi rakyat. Bukan profil abal-abal yang hanya melanggengkan warisan kekuasaan dan harta pada dinasti dan kroninya. Bukan melenggangkan penguasa yang abai pada rakyatnya.

Oleh karena itu mewujudkan sistem yang mampu melahirkan profil penguasa amanah itu menjadi sangat urgen. Menundanya semakin memanjangkan derita. Rakyat semakin jauh dari sejahtera.

Wallaahu a’laam bisshawaab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *