Oleh : Relita
Beberapa hari tepatnya Senin 12 Agustus 2024, dunia maya dihebohkan dengan dua kasus bunuh diri yang dilakukan oleh mahasiswa. Kasus pertama, seorang mahasiswa PPDS Anestesi Undip ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya. Diketahui, Aulia yang seorang dokter muda di RSUD Kardinah Tegal itu, bunuh diri dengan cara menyuntikkan obat bius jenis Roculax. Konon, ia nekat mengakhiri hidupnya lantaran tak tahan dengan perundungan yang dialaminya selama menempuh pendidikan di Undip. Kasus kedua datang dari seorang mahasiswa FMIPA Universitas Gajah Mada (UGM), juga tewas bunuh diri di dalam kamar kosnya di Kapenawon Mlati, kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Dari tahun ke tahun selalu saja ada kasus bunuh diri yang terjadi di kalangan mahasiswa. Tentu kita sangat miris melihat kondisi generasi sekarang. Mereka berfikir dengan mengakhiri hidup adalah solusi satu-satunya agar dapat keluar dari masalah yang dialami.
Adapun faktor penyebab para mahasiswa rela mengakhiri hidupnya beragam, mulai dari perundungan, persoalan asmara, depresi, hutang pinjol, hingga tekanan dalam proses belajar di kampus. Hal ini memberi gambaran kompleksnya persoalan yang mereka hadapi. Di sisi lain, perubahan sosial yang cepat dan persaingan yang semakin ketat membuat banyak mahasiswa merasa terisolasi, tertekan, dan kehilangan dukungan yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah-masalah mereka.
Sistem pendidikan yang seringkali menekan pada kompetisi dan pencapaian akademik di atas segalanya juga turut memperparah situasi ini. Mahasiswa diharapkan terus berprestasi sementara kenyataan membuat terasa terombang-ambing di antara harapan tinggi dan kenyataan yang sulit, seperti sulitnya dapat pekerjaan setelah lulus, biaya pendidikan makin mahal, juga kebutuhan hidup yang berat, jadi tak salah ketika di satu sisi mereka jadi gila terhadap materi.
Lahirnya generasi seperti ini karena dipengaruhi dengan sistem kehidupan yang dijalankan saat ini, termasuk sistem pendidikan sekuler. Sistem ini gagal melahirkan generasi yang berakhlakul karimah, padahal generasi ini seharusnya menjadi penerus dan pembangun peradaban. Terpisahnya nilai-nilai agama dari ranah pendidikan menyebabkan terputusnya hubungan antara ilmu pengetahuan dan spiritualitas, sehingga menghasilkan individu yang berprestasi secara akademis tetapi tidak memiliki landasan agama yang kuat.
Akibatnya, generasi muda yang lahir dari sistem ini seringkali tersesat dalam mengejar kesuksesan materi dan mengabaikan dimensi ketuhanan. Tanpa memadukan prinsip-prinsip Islam dalam pendidikan mereka, mereka berisiko menjadi individu yang mengutamakan kepentingan pribadi dan hanya sibuk mengejar keuntungan duniawi. Inilah yang terjadi ketika kerangka Islam dalam sistem pendidikan tidak ada.
Hal ini tentu berbeda ketika Islam diambil dan diterapkan sebagai aturan hidup. Sebagai agama yang sempurna islam tentu memiliki sistem pendidikan Islam yang kuat, yang berakar pada keyakinan Islam (aqidah). Sebab tujuan inti dari sistem pendidikan islam adalah membangun generasi yang berkepribadian islam, selain menguasai ilmu-ilmu kehidupan lain seperti matematika, sains, teknologi, dan lainnya.
Hasil dari penerapan sistem pendidikan Islam akan menghasilkan peserta didik yang kukuh keimanannya dan mendalam pemikiran Islamnya (tafaqquh fiddin). Pengaruhnya adalah keterikatan peserta didik dengan syariat Islam. Pemikiran (fikrah) pendidikan Islam ini tidak bisa dilepaskan dari metodologi penerapan (thariqah)-nya, yaitu sistem pemerintahan yang didasarkan pada akidah Islam. Oleh karena itu, dalam Islam, penguasa bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan pendidikan warganya. Sebabnya, pendidikan adalah salah satu di antara banyak perkara yang wajib diurus oleh negara. Rasulullah saw. Bersabda,
الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Pada masa kejayaan Islam, pendidikan mengalami kemajuan yang sangat pesat, ini merupakan bukti nyata dari keberhasilan sistem pendidikan Islam pada masa tersebut. Sistem pendidikan ini tidak hanya menciptakan generasi ilmuwan yang berpengaruh, tetapi juga berperan dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan ke seluruh dunia.
Keseimbangan ilmu tercapai karena Islam menjadi dasar dan sistem yang mengatur dunia pendidikan. Sepanjang sejarah peradaban Islam, pendidikan Islam mencapai masa kejayaan yang diakui oleh dunia internasional. Lembaga pendidikan berkembang pesat, dan majelis-majelis ilmu di masjid yang membahas berbagai bidang pengetahuan juga banyak bermunculan.
Keberhasilan ini terjadi berkat peran besar negara dalam mengatur setiap aspek kehidupan sesuai dengan prinsip pendidikan yang berlandaskan akidah Islam. Untuk mendukung sistem pendidikan ini, negara menerapkan berbagai kebijakan berbasis syariat Islam, termasuk kebijakan ekonomi Islam.
Dalam rangka mewujudkan sistem pendidikan Islam yang baik, diperlukan anggaran pendidikan yang besar, seperti untuk membangun sarana dan fasilitas pendidikan di seluruh wilayah serta memberikan gaji yang layak kepada para guru dan tenaga pendidik.
Pembiayaan pendidikan berasal dari fa’i dan kharaj, seperti ganimah, khumus, jizyah, serta pajak (dharibah), dan juga dari pengelolaan sumber daya alam seperti tambang, hutan, dan laut. Selama masa kejayaan Islam, banyak orang kaya yang turut serta dalam pendidikan, misalnya dengan menyumbangkan sebagian harta mereka untuk wakaf atau mendirikan lembaga pendidikan sendiri, tetapi tetap mengikuti kurikulum negara yang berbasis akidah Islam. Salah satu contohnya adalah Fatimah al-Fahiri, ia mendirikan Universitas Qarawiyyin di Maroko pada abad ke-9, untuk menyediakan pendidikan bagi masyarakat, yang kemudian menjadi salah satu pusat pendidikan terkemuka di dunia Islam.
Selain itu, negara menerapkan kebijakan pendidikan gratis untuk semua peserta didik. Kebijakan ini menghilangkan masalah biaya pendidikan, sehingga tidak akan ada kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa atau pelajar akibat tekanan ekonomi. Pendidikan gratis ini juga akan mendorong mahasiswa untuk mengejar pendidikan tinggi sesuai minat dan kemampuan mereka, memungkinkan mereka menjadi ulama sekaligus ilmuwan atau ilmuwan yang juga memahami agama.
Negara melakukan pembinaan Islam secara umum. Suasana iman akan lebih terasa dalam kehidupan masyarakat karena negara membangun sistem pergaulan yang berlandaskan Islam. Pintu-pintu maksiat akan ditutup rapat. Negara menerapkan sanksi yang membuat jera para pelaku maksiat.
Walhasil, hanya sistem pendidikan islamlah yang layak dan patut diterapkan secara menyeluruh agar terciptanya generasi bermental islami.