Oleh. Mila Ummu Rafa
Akhir-akhir ini ramai diberitakan kasus eksploitasi dan penyebaran konten pornografi online yang melibatkan anak. Di antaranya, dirilis oleh news.detik.com (13-11-2024) bahwa Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri telah membongkar dua kasus penyebaran konten pornografi anak melalui aplikasi jejaring media sosial, Telegram.
Diketahui pelaku berinisial MS, S, dan SHP bekerja sama mengelola grup aplikasi Telegram tersebut. Kasus yang pertama dengan tersangka MS (26) membuat grup telegram dengan nama “Meguru Sensei”. Tersangka MS menjual konten video pornografi dengan tarif Rp50 ribu hingga Rp300 ribu. Di mana grup tersebut berisikan konten pornografi, seperti tindak asusila anak di bawah umur, hubungan sesama jenis, hingga disebutkan ada konten yang diperankan langsung oleh pelaku. Tersangka berhasil ditangkap pada 3 Oktober 2024 di Kecamatan Grogol Kota, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Kasus yang kedua adalah grup telegram dengan nama “Acilsunda” yang dikelola oleh dua pelaku berinisial S (24) dan SHP (16), di mana anggotanya berjumlah 2.222 dan berisi 146 video.
Akibat perbuatannya, tersangka akan dihukum sesuai undang-undang Pasal 45 Ayat 1 juncto Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 52 Ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 2024 tentang ITE, dengan ancaman 20 tahun penjara.
Jebakan Sekuler Kapitalisme
Realitas ini seharusnya membuat kita merenung, bagaimana dengan masa depan generasi kelak? Usia produktif mereka justru digempur bisnis haram dengan menyebarkan dan menjadi pelaku konten negatif.
Himpitan hidup yang mendera, mulai dari pendidikan, kesehatan, sembako yang harganya makin tinggi, dan pajak yang makin mencekik, mengharuskan mereka melakukan segala macam cara untuk bisa bertahan hidup. Walaupun demikian, tidak dimungkiri ada sebagian masyarakat yang mendewakan syahwat dan materi untuk sekadar meningkatkan gaya hidup.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan mencari uang karena semua orang berhak meningkatkan kualitas hidupnya. Namun, akibat penerapan sekuler kapitalisme, masyarakat menjadi terbiasa dengan pola pikir yang menghalalkan segala cara tanpa mempertimbangkan konsekuensi yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Hal ini merambah pada semua aspek kehidupan mulai dari dunia pendidikan, sosial budaya, kesehatan, dan politik.
Sekularisme yang mereduksi peran agama semakin melemahkan iman masyarakat. Alhasil, banyak orang yang memproduksi konten pornografi demi meraih pundi-pundi rupiah, tanpa peduli pada masa depan dan kualitas generasi. Inilah potret individu yang lahir dari sistem pemerintahan sekuler yang mengabaikan pembentukan ketakwaan pada generasi.
Peran Media
Di Era teknologi dan digitalisasi media yang semakin berkembang membuat industri pornografi berkembang berkali-kali lipat setiap tahunnya. Apalagi saat ini, banyak aplikasi yang dapat diakses secara bebas oleh semua kalangan. Anak-anak tanpa pengawasan ketat dari orang tua akan semakin aktif berselancar di dunia digital. Bisa jadi, awalnya mereka tidak memahami konten-konten negatif, namun lingkaran pertemanan yang tanpa batas membuat paparan konten pornografi begitu dekat.
Kondisi ini sesungguhnya menunjukkan terjajahnya naluri seksual generasi muda. Semua diperparah jika pada masa prabaligh, pihak orang tua dan guru belum memberikan penjelasan mengenai fitrah dan cara yang benar dalam menyalurkan naluri. Akibatnya, hati generasi cenderung untuk menuruti hawa nafsu, saat yang sama pikiran menjadi tidak produktif karena stimulus seksual yang meneror keseharian mereka.