Opini

Generasi Sadis, Buah Sistem Sekuler Kapitalis

147
×

Generasi Sadis, Buah Sistem Sekuler Kapitalis

Sebarkan artikel ini

 

Oleh Auliya Syifa

Aktivis Remaja

 

Ngeri! Seorang remaja berusia 14 tahun asal Jakarta Selatan melakukan pembunuhan terhadap ayah, nenek, da menikam ibunya dengan pisau. Atas perbuatannya tersebut, menyebabkan ayah serta neneknya tewas, sedangkan ibu pelaku mengalami luka parah. Kasus ini belum diketahui pasti motifnya, polisi melakukan pemeriksaan terhadap tersangka yang berinisial MAS dengan melibatkan psikolog dan berbagai ahli. Pemeriksaan sementara dari keterangan psikolog anak dan remaja, bahwa tersangka di lingkungan sekolah dikenal baik, rajin, dan berprestasi. Namun, prestasinya sempat turun karena anak tersebut mengikuti les coding yang memakan waktu hingga larut malam dan mengakibatkan kurang tidur. (www.medcom.id 4/12/2024)

Fakta ini mencerminkan salah satu gambaran mengenai kekhawatiran terhadap generasi muda saat ini. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, jumlah anak yang terlibat dalam masalah hukum menunjukkan kecenderungan meningkat sepanjang periode 2020—2023. Hingga 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak yang berkonflik dengan hukum, dengan 1.467 di antaranya masih berstatus sebagai tahanan dan menjalani proses peradilan, sementara 526 anak lainnya sedang menjalani masa hukuman sebagai narapidana. Jika dibandingkan dengan data tiga tahun sebelumnya, jumlah anak yang tersangkut masalah hukum belum pernah mencapai angka 2.000. Pada 2020 dan 2021, jumlah anak yang terlibat dalam kasus hukum berkisar sekitar 1.700-an orang, dan angka tersebut meningkat pada tahun berikutnya menjadi sekitar 1.800-an anak. (muslimahnews.net)

Kasus pembunuhan ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya faktor-faktor yang mendukung seseorang melakukan aktivitas tersebut. Beberapa faktor yang dapat kita identifikasi di antaranya adalah lingkungan yang buruk, hilangnya peran orang tua dalam mendidik, dan hukuman yang tidak memberikan efek jera. Jika kita cermati saat ini, kita hidup di dalam sistem sekuler kapitalisme yang membuat setiap orang jauh dari aturan agama. Meningkatnya kasus pembunuhan termasuk anak terhadap orang tua adalah cerminan buruknya penerapan sistem sekuler kapitalisme. Kasus seperti ini terus meningkat bahkan tidak hanya dari kalangan awam tetapi dari kalangan aparat keamanan yang merupakan pengayom masyarakat. Lingkungan dan sistem hidup yang buruk dan jauh dari agama menjadikan manusia tidak memiliki tameng diri untuk tidak terpengaruh hal-hal buruk termasuk di dalamnya dalam melakukan tindak kekerasan atau bahkan sampai pembunuhan.

Bagi remaja, tentu saja kondisi sekuler kapitalisme ini akan memperburuk situasi emosional dan psikologis anak. Dimana jiwa mudanya sangat memiliki hasrat dan keinginan yang menggebu-gebu untuk melakukan apapun sehingga ketika tidak ada kontrol dari dalam diri (dengan agama yang kuat), maka jiwa mudanya akan meledak tidak terbendung bahkan sangat liar. Termasuk mendorong seorang remaja untuk melakukan tindakan kekerasan dan pembunuhan.

Peran orang tua juga tidak kalah penting dalam menahan seorang remaja untuk melakukan tindak kekerasan atau bahkan pembunuhan. Kondisi keluarga yang harmonis dan memiliki jalinan emosi yang kuat akan melahirkan anak yang memiliki kematangan emosi sehingga tidak mudah terjebak dalam tindak kekerasan. Tetapi, ketika terbiasa mendapati kekerasan verbal atau psikologis dalam keluarga, atau bahkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), maka tentu hal ini akan memberi dampak negatif yang sangat besar pada perkembangan anak. Pada saat dewasa anak akan memiliki trauma dan memiliki hasrat untuk melakukan balas dendam terhadap kekerasan yang dialaminya.

Lekatnya remaja terhadap media sosial, menjadikan generasi muda hari ini tidak hanya dididik oleh orang tua dan lingkungan hidup, tetapi juga oleh media sosial. Media sosial yang kerap menyuguhkan tayangan kekerasan dan kasus pembunuhan, menjadikan seorang anak yang terbiasa melihat kekerasan atau pembunuhan di media sosial mulai menganggap bahwa kekerasan adalah cara yang sah untuk menyelesaikan masalah, sehingga ia tidak lagi merasa terkejut atau merasa bersalah saat melakukan kekerasan terhadap orang lain, bahkan dalam keluarga sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *