Oleh Pujiati
Aktivis Muslimah
Berdasarkan data yang dikutip dari googstats.id, jumlah korban kekerasan anak di Indonesia mencapai 15.267 anak, terhitung sejak awal tahun 2024 hingga pertengahan Agustus 2024. Jenis kekerasan seksual pada anak adalah kasus dengan rating tertinggi dalam kurun waktu ke waktu. Seperti dikutip dari tribunnews.com, diawal Oktober 2024 terungkap sekitar kurang lebih 32 anak-anak di Tangerang menjadi korban sodomi oleh pimpinan dan pengurus Yayasan Panti Asuhan Darussalam An Nur. Mereka mengiming-imingi korban dengan kesenangan materi bahkan merusak mental korban dengan pemikiran yang menyimpang dari ajaran agama islam. Bahkan berbagai modus yang mereka lakukan salah satunya adalah program pesantren penghafal Al-Qur’an untuk menarik para donator.
Banyak kasus yang serupa di mana agama dijadikan kedok untuk kepentingan individu atau kelompok. Hal inilah yang mampu merusak citra Islam. Sehingga persepsi yang muncul di tengah umat adalah agama merupakan sumber dari segala masalah. Hal ini berdampak lunturnya kepercayaan umat terhadap lembaga pendidikan yang berbasic agama.
Pelaku kejahatan kekerasan seksual bisa saja dilakukan oleh anak-anak, remaja, orang dewasa dan orang tua bahkan sebaliknya korban pun juga bisa dari segala usia baik dari balita sampai manula. Seperti yang dikutip dari youtube, seorang pakar kriminolog, Haniva Hasna mengungkapkan bahwa aksi terencana pelaku/pedofil mampu membentuk predator predator baru. Sikap positif yang pelaku perankan di tengah masyarakat (pseudemoralizem) moral palsu dan korban mengalami posisi (tonic immobilyti) tidak memiliki kemampuan melawan (Sumber:www.youtube.com/watch?v=0d6vK3n-ynk).
Makin parah lagi, diprediksikan sudah banyak predator baru menyebar sekitar dua puluh tahun lalu sebelum kasus ini terungkap. Hal ini bukti predator-predator seksual masih bebas berkeliaran dan mengancam masa depan generasi muda di negeri ini.
Kejahatan ini tumbuh ketika tolak ukur interaksi masyarakat yang sekuler semakin permisif terhadap perbuatan individu-individu yang menyimpang dari ajaran islam (seperti menilai tanpa curiga pria kemayu dengan nuansa islami memimpin sebuah pondok). Sedangkan Negara bertindak sebagai regulasi atas kebebasan individu dalam berperilaku dan tidak menjadikan halal-haram sebagai standarnya (yakni sikap abainya Negara dan mulai kebakaran jenggot apabila kasus sudah viral).
Meskipun berbagai solusi yang sedang digalakkan oleh pemerintah baik berupa sosialisasi, LRA, pendidikan sex di usia dini, himbauan, rehabilitasi mental korban, pendampingan serta layanan hukum lembaga terkait. Upaya tersebut belum mampu menyentuh akar permasalahan dari wabah menjijikkan ini. Adapun sanksi negara yang lunak tidak dapat memberikan sifat jera pada pelakunya (seperti hukum penjara 15 tahun dan kebiri) dan tidak bersifat pencegahan bagi umatnya (seperti lemahnya iman individu, minimnya pendidikan agama dan tidak ada kontrol negara terhadap tayangan media yang terus membangkitkan syahwat).
Inilah bukti bahwa negara tidak hanya gagal malah sebagai sumber pelaku kejahatan. Karena negara penentu segala kebijakan dan aturan-aturan. Akar permasalahannya adalah negara tidak mengembalikan segala urusan kehidupan pada aturan Sang Pencipta. Justru selama ini rujukan semua urusan kehidupan adalah aturan sistem kapitalis sekuler. Di mana agama harus dipisahkan dari urusan kehidupan manusia karena agama dianggap sumber segala masalah.
Akhibatnya negara, masyarakat dan individu-individu keliru memandang islam hanyalah sebuah agama ritual semata. Tak heran jika Negara saat ini berupaya mengikis akidah umat melalui moderasi beragama. Negara berharap aturan Islam tidak lebih menonjol dari agama yang lain atas dasar toleransi beragama. Sejatinya Islam adalah agama yang ideologis dan agama yang memiliki standar sistem kehidupan. Jelas berbeda standar hidup dalam sistem Islam dengan sistem kapitalis.