Oleh : Novi Anggriani, S.Pd
Setelah mengalami kepahitan dengan mahalnya biaya UKT, generasi muda kembali dikecewakan dengan sulitnya mendapatkan pekerjaan. Hal ini disampaikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa hampir 10 juta penduduk Indonesia generasi Z berusia 15 sampai 24 tahun menganggur atau tanpa kegiatan. Di antaranya sebanyak 5,2 juta orang di perkotaan dan sebanyak 4,6 juta orang di pedesaan. Artinya keseluruhan pemuda yang menganggur bukan saja yang sudah menyelesaikan perguruan tinggi, yang tidak menempuh bangku sekolah dan kuliah pun juga tidak memiliki pekerjaan (kompas.com, 24/05/2024).
Faktor Penyebab Pengangguran
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziah mengungkapkan, banyak pengangguran berusia muda tercatat baru lulus SMA sederajat dan perguruan tinggi. Menurutnya faktor penyebab meningkatnya pengangguran di kalangan Gen Z, yang pertama adalah tidak cocoknya antara pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan pasar kerja. Hal ini terjadi kepada lulusan SMA atau SMK yang menyumbang jumlah tertinggi dalam angka pengangguran usia muda (kumparan bisnis, 20/05/2024).
Faktor kedua, turunnya lapangan pekerjaan di sektor formal. Pekerjaan formal yang dimaksud adalah mereka memiliki perjanjian kerja dengan perusahaan berbadan hukum. Selama periode 2009 – 2014 lapangan kerja yang tercipta di sektor formal menyerap 15,6 juta orang. Jumlah ini menurun menjadi 8,5 juta orang pada periode 2014 – 2019 dan kembali merosot pada periode 2019 – 2024 menjadi 2 juta orang saja (kompas.com, 24/05/2024).
Faktor ketiga, mahalnya biaya pendidikan dan pelatihan sehingga tidak memungkinkan seluruh pemuda untuk menempuh jalur pendidikan untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan penguasaan target pekerjaan yang akan mereka tekuni. Apalagi perkembangan ekonomi dan teknologi terus berubah. Dengan demikian seharusnya ada persediaan pendidikan dan pelatihan yang mampu mengasah potensi pemuda dalam bekerja.
Negara dalam Kapitalisme Berlepas Tangan Terhadap Pengangguran
Meningkatnya pengangguran di kalangan Gen Z memperlihatkan gagalnya negara dalam mengurusi berbagai permasalahan pemuda. Baik dari segi kemudahan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, sehingga bisa menghasilkan pemuda yang ahli pada keterampilan yang ditekuni, maupun ketersediaan sarana dan prasaran pendukung dalam mengasah kemampuannya. Semua itu luput dari perhatian negara dan justru negara hitung-hitungan dalam memenuhi hajat hidup rakyatnya.