Oleh; Mutaharah
GEN Z, generasi tahun 2000-an ini kembali menjadi sorotan karena mendominasi data pengangguran di Indonesia. Pengangguran dimaksud seperti tidak bekerja, tidak melanjutkan pendidikan atau istilahnya NEET (not in employment, education, and training/NEET) alias do nothing. Jika diungkap lebih rinci, jumlah Gen Z yang menjadi pengangguran atau tidak memiliki kegiatan berdasarkan data BPS (2021-2022) mencapai 9.896.019 orang pada Agustus 2023.
Dari jumlah itu, Gen Z didominasi perempuan sebanyak 5,73 juta diikuti 4,17 juta laki-laki. Angka itu setara dengan 22,25 persen dari total penduduk usia muda di Indonesia.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah, juga bicara mengenai data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat ada 9,9 juta penduduk Indonesia yang tergolong usia muda 18-24 tahun yang belum memiliki pekerjaan. Ida menuturkan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia yaitu dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2022. Perpres ini diyakini dapat mengurangi mismatch dengan merevitalisasi pelatihan vokasi, menyambungkan dan menyinkronkan dengan pasar kerja.
Miris, di zaman hidup yang semakin sulit, generasi emas yang dielu-elukan oleh negara justru bisa jadi bakal menjadi tumbal kapitalisme global, karena ketidak piawaian negara itu sendiri dalam mengurus rakyatnya. Hal ini tentu menjadi persoalan persama. Bukan hanya lingkup pribadi bagi si subjek (gen z) lebih dari pada itu negara pun harus turut bertanggung jawab.
Dalam jurnal ketenagakerjaan berjudul Analisis Tenaga Kerja Muda Tanpa Kegiatan (Not in Education, Employment, or Training/NEET) disana disebutkan sebab terjadinya NEET, yaitu: pertama, pertumbuhan ekonomi yang rendah menyebabkan perusahaan menghentikan rekrutmen baru atau bahkan mengurangi tenaga kerjanya.
Kedua, kebuntuan pasar tenaga kerja yang mana pertumbuhan ekonomi yang lambat membuat perusahaan enggan menciptakan lapangan kerja baru, sedangkan peraturan pemerintah yang terlalu melindungi tenaga kerja membuat perusahaan sulit memensiunkan tenaga yang sudah tidak aktif.
Ketiga, ketaksesuaian lulusan sekolah/perguruan tinggi dengan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri.
Keempat, inovasi-inovasi yang membuat proses produksi dan bisnis berjalan lebih efisien sehingga mengurangi tenaga kerja.
Kelima, globalisasi (negara yang dapat memproduksi barang atau jasa secara efisien akan kebanjiran order produksi, dan sebaliknya negara yang tidak efisien akan kelebihan pengangguran). (CNBC Indonesia, 17-5-2024).
Sebab-sebab NEET di atas mengonfirmasikan berlepas tangannya negara terhadap urusan menyiapkan pekerjaan untuk masyarakat. Sistem ekonomi liberal telah menjadi akar masalah pengangguran. Lapangan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab negara malah diserahkan kepada perusahaan-perusahaan individu/swasta. Lulusan sekolah atau perguruan tinggi pun terpaksa memenuhi “kebutuhan” industri.
Negeri ini dengan sistem sekuler kapitalismenya, membolehkan penguasaan SDA untuk dikelola dan dikuasai oleh perusahaan, baik lokal, swasta, maupun luar negeri. Kondisi ini otomatis berakibat tenaga kerja tidak akan terserap karena penyediaan tenaga kerja diserahkan kepada mekanisme pasar.